MEDIA PENYULUHAN DAN PSIKOTERAPI
A.
Media Penyuluhan Bimbingan Konseling Sosial Islam
1.
Pengertian Penyuluhan Bimbingan Konseling Sosial Islam
Bimbingan
konseling sosial islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu,
kelompok atau masyarakat agar senantiasa menyadari eksistensinya sebagai
makhluk Allah yang seharusnya dalam kehidupan kemasyarakatannya senantiasa
selaras dengan ketentuan dan petunjuk-Nya, sehingga dapat mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat (Faqih, 2004:149). Bimbingan sosial islam dalam
aplikasinya menurut (Faqih, 2004: 150) lebih banyak ditekankan pada proses
pencegahan atau upaya-upaya yang sifatnya preventif terhadap munculnya berbagai
masalah pada diri individu, kelompok atau masyarakat luas. Dengan demikian
bimbingan konseling sosial islam merupakan proses untuk membantu individu,
kelompok dan masyarakat luas agar memahami, menghayati, serta rela dan mampu menjalankan
ketentuan dan petunjuk Allah dalam hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya. Sedangkan aplikasi konseling sosial islam penekanannya
lebih banyak pada upaya kuratif atau pemulihan/penyembuhan, yakni mengatasi
berbagai persoalaan yang sedang dihadapi individu. Secara islami, konseling
sosial berarti membantu individu untuk menyadari kembali eksistensinya sebagai
makhluk Allah yang harus senantiasa hidup bermasyarakat sesuai dengan ketentuan
dan petunjuk Allah. Istilah “menyadari kembali” dikaitkan dengan kenyataan
bahwa yang memiliki problem kehidupan bermasyarakat adalah orang yang tidak
atau kurang sepenuhnya hidup bermasyarakat sesuai dengan ketentuan dan petunjuk
Allah SWT, sadar atau tidak sadar.
Pengertian
tersebut mengindikasikan bahwa penyuluhan bimbingan dan konseling sosial islam
adalah proses bantuan melalui metode penyuluhan secara individual maupun
kelompok atau massal dengan penyampaian langsung maupun secara tidak langsung
melalui media untuk mengajak individu dan masyarakat untuk kembali menelusuri
ketentuan petunjuk Allah untuk hidup bermasyarakat, memahami dan mengahayati
kembali, serta mencoba berusaha menjalankan sebagaimana mestinya, tidak
sebagaimana dilakukan sekarang yang menunjukkan perilaku menyimpang.
2.
Tujuan Penyuluhan Bimbingan dan Konseling Sosial Islam
Berdasarkan
rumusan pengertian dan konseling sosial islam seperti telah dikemukakan di
atas, dapat diketahui bahwa tujuan penyuluhan bimbingan dan konseling sosial
islam adalah untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat luas mencegah
timbulnya berbagai persoalan yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat
(Faqih, 150-151), antara lain dengan jalan: (1) membantu individu, kelompok dan
masyarakat memahami dan menghayati manfaat serta sanggup dan mampu menjalankan
ketentuan dan petunjuk Allah tentang tata cara hidup bermasyarakat. (2)
membantu individu, kelompok dan masyarakat luas mencegah timbulnya berbagai
persoalan yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, dengan membantu
pemahaman dan penghayatan terhadap kondisi lingkungan sosialnya. Kemudian,
membantu menemukan berbagai cara menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan
serta membantu menetapkan pilihan dalam upaya pencegahan masalah yang dihadapi
dalam hidup bermasyarakat. (3) membantu individu, kelompok dan masyarakat luas
memelihara serta melestarikan situasi dan kondisi lingkungan dalam kehidupan
kemasyarakatannya agar tetap baik dan mengembangkannya supaya lebih baik. Hal
ini dapat dilakukan dengan senantiasa memelihara situasi dan kondisi kehidupan
bermasyarakatnya yang semula menghadapi masalah dan telah teratasi agar tidak
muncul kembali. Kemudian mengembangkan situasi dan kondisi kehidupan
bermasyarakatnya yang lebih kondunsif dan berjalan lebih baik lagi.
3.
Program Penyuluhan Bimbingan dan Konseling Islam Melalui Media
Selain
memandang kehidupan kemasyarakatan secara “Das Sein” atau apa adanya. Islam
memberikan pula rambu-rambu mengenai bagaimana konsep kehidupan kemasyarakatan
yang ideal “Das Sollen”. Konsep kehidupan kemasyarakatan yang ideal menurut
Faqih (2004: 142-148) itu dapat dirinci sebagai berikut:
a. Hubungan antar individu
1)
Hubungan
antar individu dalam keluarga, mengenai bagaimana kehidupan dan hubungan
individu dengan individu lain dalam keluarga telah diuraikan dalam uraian
mengenai bimbingan dan konseling pernikahan dan keluarga islami. Agar keluarga
yang dibentuk menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, maka hendaknya
memenuhi lima fondasi berikut: (1) Memiliki sikap ingin menguasai dan
mengamalkan ilmu-ilmu agama. (2) Yang lebih muda menghormati yang lebih tua.
(3) Berusaha memperoleh rezeki yang memadai. (4) Hemat (efisien dan efektif)
dalam membelanjakan harta. (5) Mampu melihat segala kekurangan dan kesalahan
diri, segera bertaubat.
2)
Hubungan
antar keluarga, adapun pembinaan kehidupan rumah tangga agar menjadi keluarga
yang sakinah, maka dapat dilakukan beberapa hal di bawah ini: (1) pembinaan
penghayatan ajaran agama islam, keluarga islami adalah keluarga yang seluruh
anggotanya memiliki kecenderungan yang besar untuk senantiasa mendalami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama islam. (2) pembinaan sikap
saling menghormati, hubunan dalam keluarga yang harmonis, serasi merupakan
unsur mutlak terciptanya kebahagiaan hidup. Hubungan yang harmonis akan
tercapai manakala dalam keluarga dikembangkan, dibina, sikap saling menghormati
dalam arti satu sama lain memberikan penghargaan sesuai dengan status dan
kedudukannya masing-masing. (3) pembinaan kemauan berusaha, manusia hidup
memerlukan berbagai pemenuhan kebutuhan, secara serasi, selaras, seimbang, dan
harmonis. Untuk itu manusia harus senantiasa berusaha, bekerja agar untuk
kehidupannya ada rezeki yang bisa diperoleh. Manusia hidup perlu makan dan
penghidupan yang layak. (4) pembinaan sikap hidup efisien. Bersikap efisien
tidak berarti bersikap kikir. Efisien bukan Cuma dilihat dari sudut
pengeluaran, tetapi juga dari sudut energi manusia, artinya efisien tanpa
mengorbankan diri. (5) pembinaan sikap mawas diri. Sikap ini perlu ditanamkan
dalam setiap anggota keluarga, agar jika melakukan kesalahan dapat menyadarinya
bahwa setiap manusia tidak ada yang
tidak pernah melakukan kesalahan, sehingga tidak ada yang dikambinhitamkan. Dan
jika melakukan kesalahan segera meminta maaf dan mau menerima teguran dan
kritik.
3)
Hubungan
antar masyarakat luas, mengenai bagaimana seharusnya pola atau proses hubungan
antar individu dalam masyarakat luas, yakni pola atau proses hubungan yang
dapat menimbulkan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi seluruh individu yang terlibat,
dengan berlandaskan: (1) kemanfaatan, artinya hubungan antar individu dalam
kehidupan kemasyarakatan itu hendaknya memberikan kemanfaatan, bukan
kemudaratan bagi semua pihak baik yang terlibat secara langsung maupun tidak
langsung dalam proses hubungan tersebut. (2) kasih sayang, artinya dalam
melakukan hubungan kemasyarakatan dengan individu lain dilakukan dengan penuh
kasih sayang. (3) saling menghargai dan menghormati, artinya menghargai dan
menghormati orang lain secara wajar. (4) menumbuhkan rasa aman pada individu
lain, artinya keberadaan seseorang menjadikan orang lain tenteram lahiriah dan
batiniah, bukan sebaliknya. (5) kerjasama konstruktif, artinya setiap individu
berusaha membantu individu lain untuk saling meninggikan derajat kemanusiannya
masing-masing. (6) toleransi, artinya terhadap orang yang berlainan agama
dikembangkan sikap saling menghargai. (7) keadilan, artinya setiap orang
menghargai hak orang lain dan berkewajiban memberikan apa yang menjadi hak
orang lain itu tanpa mengorbankan apa yang menjadi haknya.
b.
Pembinaan kelompok intern (Muslim)
Telah
diketahui bahwa secara agamis, umat islam terikat oleh keagamaannya sebagai
suatu kelompok tersendiri yang berbeda dari kelompok lainnya. Kelompok besar
umat islam ini bisa terdiri dari berbagai kelompok dan organisasi yang lebih
kecil lagi. Kesatua umat islam di samping secara emosional diikat oleh rasa
kesatuaagamaan, juga dilandasi oleh pedoman yang digariskan oleh Allah untuk
senantiasa menjadi satu kesatuan. Pola pembinaan umat, walaupun pada akhirnya
akan berkaitan juga dengan umat atau kelompok lain, tercermin pula dari pola
pembinaan umat islam masa awal hijrah Rasullullah, yaitu melakukan empat
langkah; mendirikan masjid, mempersaudarakan muhajirin dan ansar, serta membuat
perjanjian damai dengan orang non muslim yahudi dan nasrani, serta meletakkan
dasar-dasar sistem budaya islam. Telah diketahui bersama bahwa ka’bah merupakan
simbol persatuan umat islam sedunia. Masjid dapat dikatakan merupakan simbol
persatuan islam untuk tingkat lokal, di samping merupakan pusat ibadah dan
kebudayaan islam, juga sebagai simbol kebersamaan sekaligus fasilitas untuk
berinteraksi (berjamaah) guna melaksanakan ajaran islam. Tahap kedua adalah
membina rasa persatuan antar berbagai kelompok umat islam, baik karena latar
belakang asal-usul (keturunan, kedaerahan dan lain sebaginya), perbedaan hal
yang tidak prinsipil dalam melaksanakan ajaran islam, maupun karena perbedaan
minat, interes dan sebaginya. Ketiga, membina kesatuan umat islam tanpa merugikan
kepentingan umat lain. Tegasnya menanamkan kesadaran pada umat islam untuk
bersikap toleran terhadap umat lain. Keempat, mengembangkan budaya islam dan
nilai-nilai islam yang akan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan umat islam,
sekaligus untuk melestarikan keberadaan umat islam sendiri.
c.
Pembinaan hubungan dengan kelompok lain
Dengan
kelompok lain atau non muslim, islam mengajarkan untuk hidup berdampingan
dengan cara saling memberi manfaat, tidak saling merugikan. Ini tercermin
antara lain dari tahap ketiga.
Bagaimana
penggunaan media untuk penyuluhan bimbingan sosial islam ini dilakukan?.
Prosesnya sangat sederhana sekali dengan menggali berbagai hal yang dapat
dieksplorasi agar dapat menyesuaikan kondisi sosial masyarakat pada suatu
wilayah atau sasaran tertentu. Misalnya penggunaan poster untuk wilayah
keluharan di suatu daerah, guna pencapaian masyarakat sosial islam yang
berakhlakul karimah sesuai ketentuan Allah SWT. Maka kita dapat memanfaatkan
media poster dengan membuatnya dengan isi himbauan dan sindiran serta ajakan
untuk memperbaiki sikap dan perilaku menjadi akhlah yang mulia. Poster yang
digunakan sebaiknya dibuat seindah semenarik mungkin, bahkan isinyapun dapat
dinukilkan dari suatu ayat Al-Quran atau Hadits.
Media lainnya
yang dapat digunakan adalah media internet dengan membangun situs-situs website
yang bernuasa pembinaan bagi masyarakat muslin di berbagai lapisan masyarakat
di berbagai penjuru tanah air, bahkan dunia sekalipun. Karena internet sangat
mudah dikelola dan dimaksimalkan bagi kepentingan umat islam. Media yang tidak
kalah pentingnya adalah media audio dan audio visual, bahkan media cetak sudah
menjadi konsumsi publik adalah buletin jumat, sebagai media untuk pembinaan dan
penyuluhan internal komunitas masyarakat muslim. Media siaran radio dan
televisi, sudah lama sekali menayangkan program rohani setelah selesai shalat
subuh, hampir di seluruh stasiun TV dan Radio memiliki acara tausiah ini.
Kemudian
bagaimana memanfaatkan masjid sebagai pusat pengelolaan dan pengembangan media
penyuluhan masyarakat sosial islam, tidak hanya mengandalkan papan pengumunan
dan media buletin saja, tetapi juga media lainnya yang dapat menunjang
keberhasilan program pembinaan dan penyuluhan masyarakat sosial islam yang utuh
dan sesuai harapan Rasulullah SAW.
B. Media
Psikoterapi
1. Musik
Sebagai Media Psikoterapi
Asal
kata musik bersumber dari kata “muse” yang diadaptasi ke dalam Bahasa
Inggris menjadi “music” yang
mengandung makna “bentuk renungan”. Musik lahir dari kecintaan manusia pada
kehidupan dan dilandasi oleh ingatan manusia akan pengalaman-pengalaman hidup
yang telah dialami (Campbell, 1997). Musik merupakan hasil teknologi media
audio yang mengandalkan fungsi indera pendengaran sebagai penangkap musik bagi
manusia. Mendengar menurut Campbell (1997) adalah kemampuan untuk menerima
informasi auditif melalui telinga, kulit dan tulang-belulang. Sedangkan,
mendengarkan adalah kemampuan menyaring, memusatkan perhatian secara selektif,
mengingat, dan menanggapi bunyi. Jadi, mendengar adalah tindakan pasif
sedangkan mendengarkan adalah tindakan aktif. Seseorang menangkap stimulus
ritmis bunyi lewat indra pendengarannya, lalu stimulus ritmis diteruskan ke sistem
saraf di otak yang mereorganisasi interpretasi bunyi ke dalam ritme internal
pendengar. Interpretasi bunyi yang sesuai dengan ritme internal pendengar akan
mempengaruhi proses metabolisme tubuh menjadi lebih baik. Metabolisme tubuh
yang lebih baik akan meningkatkan sistem kekebalan, dan dengan sistem kekebalan
yang lebih baik maka tubuh menjadi lebih tangguh terhadap kemungkinan serangan
penyakit.
Kata
“musik” dan “terapi musik” digunakan untuk menjelaskan media yang digunakan
secara khusus da;am rangkaian terapi. Terpi musik adalah terapi yang bersifat
nonverbal. Dengan bantuan musik, pikiran klien dibiarkan untuk mengembara, baik
mengenang hal-hal yang membahagiakan, membayangkan ketakutan-ketakutan yang
dirasakan, mengangankan hal-hal yang diimpikan dan dicita-citakan, atau
langsung mencoba menguraikan permasalahan yang sedang dihadapi (Djohan, 2006:
24).
Menurut
Darrow dkk (1985) media musik sebagai bagian dari psikoterapi didasarkan pada
delapan alasan, yaitu; (i) keberhasilan musik (sebagai terapeutik) tidak
tergantung pada pencapaian keahlian yang telah ditetapkan sebelumnya, (ii)
bahwa musik dapat merubah dan membangkitkan emosi, (iii) musik dapat
menstimulasi asosiasi diluar musikal, (iv) musik yang mestimulasi dan
menenangkan dapat mempunyai pengaruh yang berbeda pada individu yang berbeda,
(v) musik dapat mempengaruhi proses fisiologis, (vi) musik dapat melukai dalam
kondisi-kondisi tertentu, (vii) musik mempunyai penerapan terapeutik yang
variatif, (viii) musik dapat digunakan dalam preventif an kesehatan.
Berdasarkan
hasil Simposium Internasional Terapis Musik pada tahun 1982 menghasilkan
formulasi bahwa terapi musik memfasilitasi proses kreatif keluar dari
kekosongan secara fisik, emosional, mental, dan self-spiritual ke suatu area
seperti kemandirian, kebebasan untuk berubah, kemampuan menyesuaikan diri,
keseimbangan dan integritas pribadi. Penerapan terapi musik melibatkan
interaksi terapis, klien dan musik. Interaksi- interaksi ini akan merangsang
dan mempertahankan proses perubahan yang mungkin dapat diamati atau tidak.
Seiring dengan berkembangnya elemen-elemen musik seperti rithm, melodi dan
harmoni dalam waktu, terapis dan klien dapat membangun hubungan yang
mengoptimalkan kualitas hidup. Lundberg (dalam Feinstein, 1999) menjelaskan
bahwa terapi musik pada hakekatnya
adalah membangun hubungan antara pasien dan terapis yang terlatih menggunakan
musik sebagai dasar komunikasi. Pasien dan terapist berpartisipasi aktif dalam
sesi terapi lewat memainkan alat musik, menyanyi, atau mendengarkan musik.
Terapis tidak mengajarkan bagaimana bernyanyi atau memainkan alat musik, lebih
pada pemanfaatan alat musik dan bunyi untuk mengeksplorasi dunia bunyi dan
menciptakan bahasa musik secara umum. Perhimpunan Terapis Musik Kanada (1984)
mendefinisikan terapi musik sebagai pemanfaatan kemampuan musik dan elemen
musik oleh terapis untuk menaikkan, merawat, dan memperbaiki mental, emosional,
dan kesehatan spiritual. Musik mengandung kualitas nonverbal, struktur kreatif,
dan emosional. Inilah yang digunakan dalam hubungan terapeutik untuk
memfasilitasi kontak, selfawareness, belajar, ekspresi diri, komunikasi,
dan perkembangan pribadi.
Melalui
media berupa alat musik menurut Djohan (2006: 24) klien juga didorong untuk
berinteraksi, berimprovisasi, mendengarkan atau aktif bermain musik, tanpa
harus mengucapkan kata-kata. Mislanya, klien dapat mengekspresikan kemarahannya
dengan berimprovisasi di alat musik. Pada penderita alzheimer yang kehilangan
kemampuan berbahasa dapat dilakukan memperdengarkan lagu-lau kenangan atau
hanya sekedar mendengar mengikuti irama musik. Lewinsohn dan Graf (dalam
Rathus, 1986) berpendapat bahwa salah satu cara mengatasi depresi adalah
melakukan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan emosi positif, aktivitas
yang tidak sesuai dengan keadaan depresi. Aktivitas yang berhubungan dengan
emosi positif misalkan tertawa, memikirkan orang yang dicintai, melihat
pemandangan yang indah, mendengarkan musik, dan lain sebagainya. Mendengarkan
musik dapat membuat seseorang merasa sedih, gembira, dan mengalami berbagai
pengalaman emosi lainnya.
Secara
psikologis musik berkaitan dengan emosi manusia. Fisher, dkk (1990) membagi
emosi ke dalam dua kategori, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi
positif terdiri atas cinta dan bahagia. Emosi negatif terdiri atas marah,
sedih, dan takut. Cinta terdiri atas kesukaan dan birahi. Bahagia terdiri atas bliss,
kepuasaan dan kebanggaan. Istilah bliss agak sulit diterjemahkan karena
pada hakekatnya menunjukkan rasa bahagia juga, tapi dalam bliss ini kebahagiaan
yang dimaksud cenderung melibatkan perasaan terlepas dari tekanan dan dirasakan
sebagai perasaaan yang amat ringan. Emosi negatif marah terdiri dari perasaan
terganggu, perasaan bermusuhan, perasaan terhina, dan perasaan iri. Adapun
kesedihan meliputi perasaan menderita, duka, rasa bersalah dan kesepian.
Selanjutnya rasa takut terdiri atas perasaan seram dan cemas. Penjelasan emosi
dari Fisher tersebut membuktikan bahwa setiap individu memiliki rentang serta
kedalaman emosi yang unik. Luasnya rentang emosi pada diri individu perlu
dijadikan bahan pertimbangan dalam memanfaatkan musik tertentu untuk menggugah
kondisi emosi individu yang bersangkutan. Jika individu yang bersangkutan
tengah mengalami tekanan hidup yang menyebabkan depresi, perlu diwaspadai bila
diperdengarkan musik-musik yang bernuansa kesedihan. Secara umum musik-musik
tersebut mungkin menambah rasa sedih yang dialaminya menjadi suatu penderitaan,
rasa bersalah atau kesepian. Jika hal ini terjadi individu akan semakin menarik
diri dari kehidupan sosial, merasa hidup tidak lagi berharga, dan semakin lama
hal ini semakin kuat mendorong individu untuk mengakhiri hidup (Satiadarma,
2002). Jadi, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mendengarkan musik tertentu
dapat mengalami emosi tertentu pula, dan emosi yang timbul tidak sama diantara
beberapa individu. Sebaliknya, ketika menciptakan musik, pencipta dipengaruhi
oleh nada emosional tertentu sehingga ada kesenjangan antara emosi pencipta dan
pendengar, meskipun demikian kesenjangan yang muncul biasanya masih berada
dalam kelompok emosi tertentu bukan yang berlawanan. Oleh karena itulah untuk
menggugah emosi seseorang perlu mempertimbangkan nuansa emosi dalam musik yang
akan diperdengarkan.
a. Elemen-elemen Dalam Terapi Musik
Untuk
dapat disebut sebagai terapi musik maka perlu ada beberapa elemen penting
yaitu: (a) terapi musik dianjurkan oleh anggota dari tim yang merawat klien.
Anggota tim termasuk di dalamnya dokter, pekerja sosial, psikolog, guru, dan
orangtua; (b) Musik adalah alat terapi utama. Musik dipakai untuk menstabilkan
hubungan yang saling percaya, ahli terapi musik lalu bekerja untuk meningkatkan
fungsi fisik dan mental secara hati-hati lewat aktivitas yang terstruktur.
Misalkan, menyanyi, mendengarkan, memainkan alat musik, menciptakan, dan
latihan imaginasi; (c) Musik diselenggarakan oleh ahli terapi musik yang
terlatih. Pelatihan dan pendidikan ahli terapi musik haruslah luas. Intervensi
musikal dikembangkan dan digunakan oleh ahli terapi berdasarkan pengetahuannya
terhadap efek musik terhadap perilaku, kekuatan dan kelemahan klien, dan tujuan
terapi; (d) Terapi musik diterima oleh klien dan targetnya pada populasi dan
usia yang beragam; (e) Terapi musik dilaksanakan untuk mencapai tujuan
terapeutik yang spesifik dan objektif. Sangat penting untuk disadari bahwa
meskipun klien mungkin mengembangkan kemampuan musikal mereka selama terapi,
tapi kemampuan ini bukanlah perhatian utama ahli terapi. Perhatian utama ahli
terapi adalah pada perkembangan pengaruh musik pada fisik, psikologis, dan
fungsi sosial-ekonomi klien (Linberg, 1999). Simposium Internasional Ahli-Ahli
Terapi Musik (1982) menjelaskan bahwa elemen terapi musik adalah irama, melodi
dan harmoni. Irama adalah sekelompok nada tertentu dengan nilai not bervariasi
yang diulang- ulang secara teratur dan menjadi bagian dari sebuah lagu. Melodi
adalah sekumpulan nada yang dibunyikan secara berurutan. Harmoni adalah
sekumpulan nada yang berbunyi bersamaan dan membentuk suasana musikal tertentu.
b. Metode yang Digunakan dalam Terapi
Musik
American
Music Therapy Assosiation (2003) menjelaskan bahwa dalam terapi musik, seorang terapis
mengukur kesejahteraan emosional, kesehatan fisik, fungsi sosial, kemampuan
komunikasi dan kemampuan kognitif klien lewat fungsi musikal klien; menyusun
sesi musik sesuai kebutuhan klien dan kelompok seperti mendengarkan musik,
menuliskan lagu, mendiskusikan lirik, musik dan imajinasi, memainkan alat
musik, dan belajar lewat musik.
Canadian
Assosiation of Music Therapy (1994) menjelaskan bahwa cara-cara yang dapat digunakan
dalam terapi musik adalah : (a) menyanyi; dapat digunakan untuk individu yang
mengalami kelemahan dalam berbicara seperti artikulasi, tempo, dan kontrol
nafas. Dalam kelompok, individu dapat belajar menyadari keberadaan orang lain dengan
menyanyi bersama-sama. Lagu-lagu dapat menolong orang-orang yang berusia lanjut
untuk mengingat kejadian-kejadian penting dalam hidup mereka yang ingin
dibagikan dengan orang lain. Lirik dapat digunakan untuk membantu
individu-individu dengan keterbelakangan mental dalam melakukan tugas-tugas
yang berurutan; (b) memainkan alat musik, dapat meningkatkan koordinasi motorik
pada individu dengan hambatan motorik. Memainkan alat musik dalam kelompok akan
membantu individu belajar mengontrol dorongandorongan yang merusak. Mempelajari
sebagian kecil musik dan memainkannya akan mengembangkan kemampuan musikal dan
membantu membangun daya lentur self, kepercayaan diri dan disiplin diri;
(c) bergoyang, digunakan untuk mendorong perluasan perasaan, gerakan bersama,
kekuatan, keseimbangan, koordinasi, konsistensi pola pernapasan, dan relaksasi
otot-otot. Komponen tempo dalam musik ini membantu meningkatkan motivasi,
minat, dan kesenangan dan bertindak sebagai persuasi nonverbal yang mendorong
penyesuaian sosial; (d) improvisasi, memberikan peluang untuk melahirkan
kreativitas sebagai ekspresi perasaan. Hal ini akan membantu terapis untuk
mempertahankan ikatan kepercayaan dengan klien dan memberikan layanan
pengukuran yang bermanfaat; (e) mencipta, digunakan untuk mengembangkan belajar
bekerjasama dan mendorong berbagi perasaan, ide-ide, dan pengalaman. Bagi orang
dengan pengakit parah, ini adalah cara untuk menguji perasaannya tentang arti
hidup dan mati, ketika menciptakan sesuatu yang berharga untuk ditinggalkan bagi
orang yang dicintai. Lagu yang menyembuhkan, yang ditulis untuk dan oleh klien,
dapat memfasilitasi saat yang menakutkan dari kesadaran diri atau katarsis; (f)
mendengarkan musik mempunyai banyak penerapan terapeutik. Dapat membantu
mengembangkan kemampuan kognitif seperti perhatian dan memori. Hal ini
mendorong proses untuk keluar dari kesulitan tertentu lewat menciptakan
lingkungan yang kreatif untuk mengekspresikan diri. Musik membangkitkan memori
dan asosiasi. Mendengarkan musik secara aktif dalam keadaan yang tenang dan
rileks akan menstimulasi pikiran, imaginasi, dan perasaan yang dapat di uji
lebih lanjut dan didiskusikan dengan terapis saja atau dengan kelompok yang
mendukung.
2. ART THERAPY
Lewis
(dalam Silver dan Ellison, 1995) menyebutkan bahwa penerapan terapi secara
verbal kurang efektif bila dibandingkan dengan terapi yang secara terstruktur
melibatkan lingkungan pergaulan dan memiliki program modifikasi perilaku yang
jelas. Penelitian lain menunjukkan bahwa anak yang memiliki gangguan perilaku
lebih bersifat kinestetik daripada verbal dan banyak yang kurang mampu dalam
bahasa (Silver dan Ellison, 1995). Untuk itu, agar keberhasilan proses terapi
meningkat, Shirley Riley dalam bukunya Contemporary Art Therapy with Adolescense menegaskan bahwa kualitas yang perlu
diperhatikan dalam memilih alternatif konseling dan terapi adalah menemukan
metode yang dapat diterima klien.
Salah
satu alternatif yang ditawarkan oleh banyak ahli psikologi dan psikiatri adalah
aktivitas seni (art
therapy atau expressive therapy). Dalam tulisannya yang berjudul Re-education Through the Creative Arts, Juul dan Schuler (1983) menjelaskan bahwa
aktivitas seni dapat meningkatkan perkembangan normal anak serta mengatasi
gangguan perilaku pada anak dan remaja akibat terganggunya emosi dan
ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Anderson (dalam Juul
dan Schuler, 1983) menambahkan bahwa keseluruhan bentuk seni memiliki nilai
intrinsik yang mendorong anak untuk berkreasi. Seni juga dapat meningkatkan
ketrampilan komunikasi dan kerja sama, membangun konsep diri yang positif serta
dapat membantu meningkatkan ketrampilan akademik. Pendapat ini dipertegas oleh The American Art Therapy Association (2003) yang mengatakan bahwa art therapy banyak digunakan sebagai sarana untuk
menyelesaikan konflik emosional, meningkatkan kesadaran diri, mengembangkan
ketrampilan sosial, mengontrol perilaku, menyelesaikan permasalahan, mengurangi
kecemasan, mengarahkan realitas, dan menambah self esteem atau harga diri.
Istilah
art therapy terdiri dari dua kata yaitu kata art dan therapy. Art
menunjukkan makna
keaslian, invidualitas, proses kreatif, spontanitas, penggunaan warna, tekstur,
bahan-bahan grafis, dan imajinasi, sedangkan therapy menunjukkan suatu kepedulian, proses
mendengar, penyembuhan, proses bergerak ke arah keutuhan, perubahan dan
perkembangan serta menekankan pada pemahaman manusia (Fleshman dan Fryrear,
1981).
Istilah
art therapy terkadang digunakan untuk menunjukkan suatu
bentuk terapi seni atau terapi ekspresif secara umum (Juul dan Schuler, 1983;
Jarboe, 2004) namun lebih sering digunakan untuk menunjukkan bentuk terapi
kreatif yang bersifat seni visual atau melukis/menggambar (Ballou, 1995;
Glaister, 2000; Jarboe, 2004; Dubowski, 1994; American Art Therapy Association, 2003). Ballou (1995) menyebutkan bahwa art therapy merupakan salah satu bentuk dari beberapa
jenis expressive
therapy (terapi
ekspresif). Terapi ekspresif adalah suatu proses terapeutik yang menggunakan
intervensi nonverbal dan modalitas dansa/gerakan, gambar/lukisan, dan musik
sebagai media untuk berekspresi. Terapi ekspresif ini disebut juga sebagai
terapi kreatif atau terapi aktivitas. Melalui aktivitas terapeutik ini,
individu mendapat kesempatan untuk mengetahui dan mengatasi kebiasaan atau
perilaku yang maladaptif yang dapat menimbulkan konflik intrapersonal dan atau
interpersonal. Proses terapeutik yang menggunakan aktivitas menggambar sebagai
modalitas utama sering disebut visual art therapy atau art
therapy saja.
Sejalan dengan pendapat Ballou ini, Glaister (2000) menyebutkan bahwa art therapy merupakan suatu proses penyembuhan yang
menggunakan gambar atau lukisan sebagai media untuk melakukan identifikasi,
mengeksplorasi serta mengubah konsep diri, perasaan dan perilaku individu.
Sebagaimana
bentuk terapi ekspresif lainnya, art therapy melibatkan individu dalam aktivitas yang akan meningkatkan
kreativitas dan partisipasinya. Melalui terapi ini, individu dapat
mengekspresikan dan menginterpretasi emosinya dengan cara yang berbeda dari
terapi tradisional. Tujuan terapi ini lebih menekankan pada kebebasan berkomunikasi
daripada menghasilkan bentuk yang artistik (Ballou, 1995) dan dalam
pelaksanaanya menerapkan berbagai model dan konsep psikologi seperti
psikodinamika, kognitif, pendidikan dan bentuk terapeutik lainnya.
a. Prosedur pelaksanaan dan teknik art therapy
Menurut
Ballou (1995), tidak ada prosedur khusus dalam art therapy, namun secara khusus terdiri dari tiga
tahap. Pertama, klien fokus pada sebuah peristiwa atau perasaan. Pada tahap
ini, terapis menjelaskan tentang topik yang berhubungan dengan suatu peristiwa
atau perasaan kemudian meminta klien untuk memikirkan atau merasakannya. Kedua,
klien membuat sebuah image yang merepresentasikan peristiwa atau perasaan
tersebut. Pada tahap ini, terapis perlu memberikan reinforcement atas usaha klien dan mengobservasi bagaimana
cara mereka menyelesaikan lukisannya. Tahap ketiga, terapis memperhatikan arti
kreasi klien dengan memperhatikan emosi gambar, warna, proporsi, dan bentuk
desain secara keseluruhan serta asosiasi verbal klien. Pada tahap ini, terapis
perlu menggali lebih lanjut tentang simbol dan image yang ada maupun yang tidak
ada dalam kreasi klien.
Klien
dan terapis kemudian memproses hasil kreasi tersebut secara verbal dan
mengunakannya untuk membantu klien menyadari dan memahami dirinya. Dalam pelaksanaannya,
secara umum ada 2 teknik yang dikembangkan dan dapat diterapkan untuk semua
jenis klien, termasuk anak yang mengalami gangguan perilaku, yaitu teknik
terstruktur dan teknik tidak terstruktur. Pada teknik terstruktur, klien
diminta untuk menggambar image yang telah ditentukan yang kemudian
diinterpretasi berdasarkan kriteria tertentu seperti penggunaan warna,
penggambaran bentuk, pemberian bayangan, dan sebagainya. Contohnya adalah Human Figure Drawing Test, Kinetic Family Drawing dan House,
Tree, Person.
Pada teknik tidak terstruktur, subjek diberikan kebebasan berekspresi
sepenuhnya dan interpretasi gambar tidak berdasarkan kriteria-kriteria baku.
Contoh yang paling terkenal adalah Teknik Mandala yang didasarkan pada teori
Jung tentang integritas kepribadian (Feder dan Feder dalam Ballou, 1995).
Sebagaimana
intervensi lainnya, art
therapy dapat
diberikan dalam jangka panjang ataupun secara intensif (jangka pendek). Menurut
Tyndall-Lind dan Landreth (2001) pemberian terapi jangka pendek (intensive short term therapy) selama 9 – 24 jam (dalam 6 – 12 pertemuan)
cukup efektif untuk membantu gangguan perilaku anak.
Penerapan
art therapy dilakukan dengan menggabungkan berbagai model
asesmen dan treatmen termasuk psikodinamika, kognitif, perilaku, dan bentuk
terapeutik lainnya (American
Art Therapy Association, 2003). Seperti terapi lainnya, art therapy juga dapat diberikan secara individual maupun
secara kelompok sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik klien. Pemberian
secara individual umumnya dilakukan pada klien yang mengalami gangguan
emosional karena trauma, sedangkan pemberian secara kelompok terutama dilakukan
pada anak-anak yang memiliki permasalahan penyesuaian diri seperti pada anak
yang mengalami gangguan perilaku. Menurut Yalom (dalam Tyndall-Lind dan
Landreth, 2001), bukti empirik selama lebih dari dua puluh lima tahun
membuktikan bahwa penggunaan terapi kelompok pada anak-anak memiliki 10 sifat
kuratif yaitu : (a) pemberi informasi; (b) menumbuhkan harapan, yang membantu
anak untuk merasa memiliki kendali atas hidupnya; (c) keseragaman (universality), yang membantu anak menyadari bahwa ada
anak lain yang mengalami hal yang sama dengannya; (d) menumbuhkan sifat
mementingkan orang lain (altruism), dimana anak mendapat kesempatan untuk memberi dan menerima, (e)
memperbaiki hubungan keluarga, karena melalui sistem kelompok anak belajar
bagaimana hubungan dan dinamika keluarga; (f) mengembangkan kemampuan
bersosialisasi; (g) anak dapat meniru perilaku positif dari figur terapis; (h)
anak dapat belajar tentang hubungan interpersonal; (i) membentuk kepa duan (cohesiveness) kelompok; dan (j) menjadi media katarsis.
b. Aplikasi Art Therapy
Tujuan
utama terapi ini bukanlah untuk menghasilkan produk yang artistik, tetapi
memberi kesempatan kepada klien untuk bebas mengkomunikasikan dan
mengekspresikan dirinya guna membantu penyembuhan dan pengembangan dirinya.
Dalam pelaksanaannya, proses art therapy menggabungkan berbagai konsep psikologi seperti psikodinamika,
humanistik, kognitif, dan sebagainya. Art therapy digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik emosional,
meningkatkan kesadaran diri, mengembangkan ketrampilan sosial, mengontrol
perilaku, menyelesaikan permasalahan, mengurangi kecemasan, mengarahkan
realitas dan menambah self esteem atau harga diri (American Art Therapy Association , 2003). Dalam art therapy, proses dan respon klien saat menggambar
serta gambar/lukisan yang dihasilkan digunakan sebagai refleksi atas
perkembangan, kemampuan, kepribadian, ketertarikan, perhatian, dan konflik
individu (Ballou, 1995; American Art Therapy Association, 2003).
Beberapa
tahun belakangan ini, aktivitas menggambar telah banyak dijadikan sarana dalam
proses terapi terhadap anak-anak yang mengalami penganiayaan secara fisik dan
seksual atau menjadi korban kejahatan rumah tangga, anak yang mengalami
ganagguan emosional, anak yang berada dalam perawatan medis (Malchiodi, 2001)
dan anak yang mengalami gangguan perilaku (Juul dan Schuler, 1983). Anak-anak
yang mengalami gangguan perilaku kebanyakan lebih bersifat kinestetik daripada
verbal dan banyak yang kurang mampu dalam bahasa, karena itu, gambar dapat
membantu memahami bagaimana dinamika individu dan apa yang mereka butuhkan
(Silver dan Ellison, 1995). Menurut Winnicott (dalam Malchiodi, 2001), gambar
dapar berfungsi sebagai sarana komunikasi antara terapis dan anak yang dapat
membuat anak aktif berpartisipasi dalam proses terapeutik. Gambar akan membantu
anak mengekspresikan masalahnya dan pandangannya terhadap dunianya. Winnicott
menegaskan bahwa gambar dapat menjadi sebuah katalisator yang akan meningkatkan
interaksi dan efektivitas proses terapeutik antara terapis dan klien. Gross
& Hayness (dalam Malchiodi,2001) melakukan percobaan tentang bagaimana
pengaruh gambar dalam memfasilitasi laporan secara verbal pada anak. Mereka
menemukan bahwa anak-anak yang diwawancarai ketika sambil menggambar memberikan
informasi yang lebih banyak dibandingkan anak-anak yang hanya diminta
bercerita. Mereka berasumsi bahwa hal ini terjadi karena menggambar dapat
mengurangi kecemasan dan menolong anak merasa lebih nyaman dengan terapis, dapat
meningkatkan pemanggilan kembali memori, dan dapat membantu anak mengorganisir
ceritanya.
Pada
anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, sering terdapat prasangka
permusuhan sehingga sulit mempe rcayai orang lain. Melalui art therapy ini, anak dapat belajar mempercayai orang
lain yang bukan pengasuh utamanya, dapat menggunakan proses menggambar sebagai
media penenang, dan dapat membentuk kelekatan dengan terapis. Hal ini karena
aktivitas menggambar dan lukisan yang dihasilkan dapat disamakan fungsinya dengan
objek pengganti (transitional
object).
Objek pengganti biasanya berupa permainan favorit (seperti boneka) yang menjadi
tempat atribusi karakteristik pengasuh utama yang digunakan anak untuk
menenangkan hatinya saat berpisah dengan pengasuh atau ketika berada dalam
situasi yang menimbulkan kecemasan (Winnicott dalam Jarboe, 2004). Penggunakan art therapy sebagai intervensi klinis yang utama bagi
remaja yang nakal telah dikembangkan di Manhattan (Wolf dalam Juul dan Schuler,
1983). Program ini didasarkan pada teori yang menyatakan anak atau remaja yang
nakal mengalami kekurangan kasih sayang dan hubungan maternal yang jelek.
Perilaku merusak dan antisosial yang mereka lakukan sebenarnya merupakan usaha
untuk mendapatkan respon dari lingkungan sehingga anak dapat mengalami hubungan
yang hilang tersebut. Dengan setting terapeutik seperti art therapy ini, anak akan dapat mengekspresikan dan
hidup melalui trauma yang dialaminya diawal kehidupan, sehingga kapasitas
emosional dan penyesuaian sosialnya tidak lagi terhambat.
Bila
didasarkan pada konsep Jung yang percaya bahwa manusia mewarisi ketidaksadaran
dari leluhur yang temanya berbeda-beda pada setiap orang dan kurangnya
rekonsiliasi beberapa tema ini menjadi dasar terganggunya emosi dan perilaku,
maka, aktivitas kreatif seperti menggambar ini, khususnya dalam situasi
kelompok yang saling mendukung, dapat membuat konflik tersebut menjadi disadari
dan diterima individu (dalam Juul dan Schuler, 1983). Bettelheim (dalam Juul
dan Schuler, 1983) menyebutkan bahwa self respect merupakan isu sentral semua gangguan fungsional, termasuk gangguan
perilaku. Walau terlihat keras, namun sebenarnya anak yang mengalami gangguan
perilaku memiliki self
esteem (harga
diri) yang rendah. Melalui proses terapeutik ini, menggambar akan memberikan
rasa mampu pada individu serta memberi pengalaman puncak yang akan membawa
individu pada perubahan yang positif (Bonny dan Savary dalam Juul dan Schuler,
1983).
Manning
(dalam Johnson dan Chuck, 2001) menguji gambar yang dibuat oleh anak yang
dianiaya dan anak yang berasal dari keluarga yang terlibat kejahatan. Ia
menemukan bahwa tindakan agresi sering dilukiskan dalam ukuran figur yang
besar, cuaca yang buruk, dan objek yang bergantung atau jatuh dikepala anak.
Garis tebal juga sering ditemukan pada gambar yang menunjukkan usaha mereka
untuk membuat garis batas antara dirinya dengan dunia luar. Salent (dalam
Johnson dan Chuck, 2001) menjelaskan bahwa gambar anak yang pertama dalam
proses terapi secara khusus mengilustrasikan permasalahannya. Misalnya anak
yang agresif, pertama kali menggambar gunung berapi yang memuntahkan abu dan
uap panas, secara simbolik gambar ini menunjukkan kemarahannya sendiri yang
meledak-ledak.
Pada
anak yang mengalami gangguan perilaku, teknik art therapy yang digunakan dapat bersifat terstruktur
maupun tidak terstruktur atau kombinasi keduanya. Pada teknik terstruktur,
proses terapi dimaksudkan sebagai media untuk mengembangkan
ketrampilan-ketrampilan tertentu sedangkan pada teknik tidak terstruktur,
proses menggambar atau art therapy dimaksudkan sebagai media katarsis yang dengannya klien dapat
bebas mengekspresikan perasaannya. Dengan mengkombinasikan kedua teknik ini,
proses terapi tidak hanya menjadi media katarsis bagi anak tetapi juga menjadi
media mempelajari ketrampilan-ketrampilan baru. Salah satu ketrampilan yang
dapat dilatih dengan menggunakan art therapy ini adalah ketrampilan sosial, baik yang bersifat intrapersonal,
interpersonal, maupun yang berhubungan dengan akademis. Penggunaan teknik
terstruktur yang telah digunakan beberapa ahli art therapy untuk mengembangkan ketrampilan sosial anak
antara lain adalah : teknik menggambar jembatan ( Thomas, 2002) yang
dimaksudkan untuk mengajarkan anak menyusun langkah-langkah atau strategi
tertentu untuk mencapai harapan dan keinginannya; teknik menggambar diri/orang
(Human Figure
Drawing Test) dan
menggambar orang, pohon dan rumah (House-Tree-Person Test) yang dimaksudkan untuk melatih anak mengenali diri dan
lingkungannya (Ballou, 1995), dan teknik menggambar emosi yang dirasakan serta
situasi penyebabnya (Wallin dan Durr, 2005) yang dimaksudkan untuk melatih anak
mengenali dan mengontrol emosinya.
Pada
anak yang mengalami gangguan perilaku, pemberian ketrampilan mengenali diri dan
lingkungan serta menyusun langkah mencapai keinginan ini membantu mengurangi
prasangka permusuhan terhadap lingkungan dan mengurangi perilaku agresif
sebagai strategi mencapai tujuan. Adapun pada teknik tidak terstruktur, anak
diberi kebebasan untuk menggambar apa saja yang dimaksudkan untuk membantu anak
bebas mengekspresikan perasaan dan konflik-konflik internal yang dialaminya.
Menurut Johnson dan Chuck (2001) art therapy pada anak yang mengalami gangguan perilaku sebaiknya diberikan
dalam bentuk kelompok (group therapy) karena kelompok akan menjadi media bagi anak untuk menurunkan
emosi dan menyalurkan energi. Kelompok juga dapat membantu anak mengevaluasi
perilakunya dan menjadi media bagi anak untuk mempraktekkan ketrampilan yang
baru diperolehnya. Penerapan art therapy secara berkelompok pada siswa sekolah dasar oleh Wallin dan Duur
(2002) menunjukkan bahwa ada peningkatan belajar sosial dan emosional pada anak
yang memiliki masalah perilaku.
3. BIBLIOTHERAPY
Bibliotherapy adalah suatu terapi yang menggunakan aktivitas membaca pustaka
yang telah diseleksi, yang disusun dan diterapkan sebagai suatu prosedur
tritmen untuk tujuan-tujuan terapeutik (Sclabassi, dalam Herink, 1980). Bryan
(dalam Herink, 1980) mendefinisikan bibliotherapy sebagai ‘peresepan’ (prescription)
materi-materi bacaan yang akan membantu mengembangkan kematangan emosional,
memelihara & menunjang kesehatan mental.
Menurut Hynes dan Hynes-Berry (1994), bibliotherapy menggunakan
pustaka untuk menghasilkan suatu interaksi yang bersifat terapeutik antara
partisipan dan fasilitator. Selain itu, mereka membedakan pendekatan atau
pemikiran (schools of thought) mengenai bibliotherapy menjadi
dua, yaitu reading bibliotherapy dan interactive bibliotherapy.
Pada reading bibliotherapy, proses penyembuhan dititikberatkan pada
aktivitas membaca itu sendiri, yaitu pada interaksi yang terjadi antara pembaca
dengan materi bacaannya, dan tidak secara langsung melibatkan orang yang
menyarankan materi tersebut (fasilitator). Pada tahun 1949, disertasi dari
Caroline Shrodes semakin mengukuhkan pengertian bibliotherapy sebagai
suatu proses yang dialami oleh individu dalam membaca buku yang secara khusus
dipilih karena bermanfaat terapeutik bagi individu tersebut (Hynes dan
Hynes-Berry, 1994). Jadi, penekanannya bukanlah hanya pada proses menyarankan
buku-buku tertentu saja (prescribing books), melainkan pada bagaimana
pembaca memanfaatkan isi dari buku tersebut.
Pada interactive bibliotherapy, proses penyembuhan
difokuskan pada aktivitas membaca dan dialog terpimpin mengenai materi
tersebut. Jadi, terdapat interaksi partisipan – pustaka – fasilitator, yang
dapat dilihat melalui interaksi rangkap dua, yaitu respon pribadi partisipan
terhadap materi bacaan merupakan hal yang penting, tetapi berdialog dengan
fasilitator mengenai respon tersebut dapat mengarahkan pada suatu dimensi
pemahaman yang benar-benar baru. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh definisi
dari Rubin dan beberapa definisi terbaru mengenai bibliotherapy (dalam
Hynes dan Hynes-Berry, 1994) bahwa terdapat suatu dimensi terapeutik yang
signifikan pada dialog yang difasilitasi tentang perasaan dan respon individu
terhadap pustaka.
a. Teknik bibliotherapy
Menurut Sclabassi (dalam Herink, 1980), tergantung pada tujuan dan
tingkat intervensinya, terdapat dua macam teknik bibliotherapy:
1. Pustaka Didaktik
Pustaka didaktik pada umumnya bertujuan untuk memfasilitasi suatu
perubahan dalam diri individu melalui suatu pemahaman diri yang lebih bersifat
kognitif. Pustakanya bersifat instruksional dan edukasional, seperti buku
pegangan (handbooks), dan dokumen. Topik-topik yang dimasukkan antara
lain adalah mengenai pengasuhan anak, perkawinan dan seks, koping terhadap
stres, relaksasi, dan meditasi dan lain sebagainya.
2. Pustaka
Imajinatif
Pustaka imajinatif mengacu pada penggambaran perilaku manusia
dalam suatu cara yang dramatik. Kategori ini meliputi novel-novel,
cerpen-cerpen, dan permainan-permainan. Landasan teoretisnya adalah
mempostulasikan suatu hubungan antara kepribadian dan pengalaman vicarious (yang
seolah-olah dialami sendiri). Pembaca secara simultan terlibat dan terpisah
dari cerita, seperti yang nyata dalam situasi vicarious.
Menurut Sclabassi (dalam Herink, 1980), bibliotherapy telah
dianggap memadai baik sebagai suatu teknik utama maupun sebagai suatu tambahan
untuk berbagai teknik terapeutik yang lain. Tidak ada metodologi eksplisit
tertentu bagi pemilihan materi-materi bacaan yang tepat. Yang terpenting adalah
terapis tidak hanya mengenali pasiennya, tetapi juga mengenali pustaka-pustaka
yang akan digunakan.
Menurut Hynes dan Hynes-Berry (1994), materi-materi yang bersifat bibliotherapeutic
dapat meliputi materi-materi yang bersifat imajinatif, didaktik, dan
informasional. Puisi, permainan-permainan, cerita pendek, novel, essays,
artikel majalah, dan bagian-bagian dari buku teks kesemuanya dapat digunakan
baik dalam bentuk yang utuh maupun yang telah diringkas; demikian pula,
bagian-bagian kecil dari materi-materi di atas dapat dikutip untuk digunakan.
Menurut Sclabassi (dalam Herink, 1980), tidak ada patokan cara tertentu untuk
menerapkan bibliotherapy dalam suatu tritmen. Misalnya, pustaka tertentu
dapat direkomendasikan atau ‘diresepkan’ oleh terapis untuk aktivitas membaca
antar sesi dan didiskusikan setelah itu, atau aktivitas membaca dapat dilakukan
dalam suatu sesi kelompok dan berperan sebagai suatu batu loncatan untuk
pengungkapan pribadi, atau terapis dapat membaca sebuah cerita sebagai suatu
tambahan terhadap suatu sesi terapi bermain pada anak-anak.
Dahulu, bibliotherapy terutama diterapkan pada terapi
individual (satu terapis, satu klien). Namun, sekarang bibliotherapy lebih
umum diterapkan pada setting kelompok. Walaupun demikian, pokok yang
harus diingat adalah bahwa proses dan tujuan bibliotherapeutic terutama
berfungsi dalam kaitannya dengan individu-individu yang membentuk kelompok
tersebut. Oleh karena itu, kepedulian utama dari fasilitator adalah lebih pada
kebutuhan-kebutuhan dari partisipan sebagai individu-individu dibandingkan
dengan kelompok sebagai suatu kesatuan (Hynes dan Hynes-Berry, 1994).
b. Populasi bibliotherapy
Menurut Hynes dan Hynes-Berry (1994), populasi bibliotherapy dapat
dibedakan menjadidua, yaitu:
1. Clinical bibliotherapy
Clinical bibliotherapy merupakan salah satu dari beberapa terapi kreatif yang digunakan
pada populasi-populasi dalam suatu program tritmen yang spesifik. Fasilitator
dilatih untuk menggunakan suatu metodologi psikoterapeutik dengan pustaka yang
berperan sebagai alat utama untuk menolong klien mencapai suatu kepribadian
yang terintegrasi. Sasaran populasi yang termasuk dalam clinical
bibliotherapy:
a). Orang-orang
yang mengalami gangguan emosional. Klien-klien ini mencakup klien-klien
yang berada di rumah sakit jiwa, yang akan kembali untuk memperoleh tritmen dan
tindak lanjut, atau yang akan menerima tritmen profesional secara mandiri.
Mereka mengenal bibliotherapy sebagai bagian dari rencana kontraktual
mereka untuk terapi. Biasanya, kelompok-kelompok dibentuk berdasarkan
populasi-populasi yang spesifik. Misalnya, satu kelompok akan dibatasi pada
remaja-remaja yang menagalami gangguan emosional, kelompok yang lain pada
pasien-pasien rumah sakit yang kronis, dan kelompok ketiga pada pasien-pasien
yang juga menderita suatu cacat fisik seperti kebutaan atau ketulian.
b). Penghuni lembaga pemasyarakatan. Bibliotherapy dapat
menjadi bagian dari suatu program lembaga pemasyarakatan atau disyaratkan
sebagai bagian dari masa percobaan dan pembebasan bersyarat. Walaupun
anggota-anggota dari populasi ini biasanya berpartisipasi di bawah perintah dan
bukan secara sukarela, namun bibliotherapist biasanya tetap menekankan
prinsip bahwa tidak seorang pun dapat dipaksa untuk mengungkapkan
perasaan-perasaan dan pemahaman-pemahaman pribadinya. Penekanan dalam
kelompok-kelompok lembaga pemasyarakatan adalah pada membantu partisipan untuk
lebih mengenali dan mematuhi norma-norma masyarakat dan patokan-patokan
perilaku. Namun, bibliotherapist seharusnya juga menyadari bahwa
partisipan juga dapat menjadi tidak stabil secara emosional dan, pada
kasus-kasus seperti itu, bibliotherapy juga membantu untuk penyembuhan
psikologis.
c). Orang-orang
yang mengalami ketergantungan zat. Kelompok-kelompok clinical
bibliotherapy telah menjadi suatu elemen yang berhasil dari program-program
rehabilitasi ketergantungan obat dan alkohol di rumah sakit (Mazza; Gladding;
Schecter, dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994). Partisipan dalam tritmen untuk
ketergantungan biasanya secara intens terlibat dalam evaluasi diri dan
cenderung berespon secara efektif terhadap penggunaan materi yang bersifat
imajinatif dan informasional sebagai suatu stimulus untuk menggali
pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan mereka.
2. Developmental bibliotherapy
Developmental bibliotherapy berkembang dari pengetahuan bahwa kebutuhan untuk menghadapi
perasaan-perasaan pribadi, meningkatkan kesadaran diri, serta meningkatkan
harga diri tidak hanya terbatas pada pasien-pasien gangguan mental, kriminal,
atau orang-orang yang mengalami ketergantungan zat. Pada umumnya, partisipan
dalam developmental bibliotherapy secara spesifik memilih terapi ini
untuk lebih memahami diri sendiri. Developmental bibliotherapy biasanya
dilaksanakan dalam kelompok-kelompok yang telah dibentuk dan bertemu dalam
konteks suatu sekolah, pusat komunitas, perpustakaan, dan gereja. Teknik-teknik
dasar yang digunakan untuk memfasilitasi kelompok-kelompok tersebut adalah sama
seperti yang digunakan dalam clinical bibliotherapy, tetapi kedalaman
dari penggalian terapeutiknya berbeda. Pada saat yang sama, bibliotherapist sering
memainkan peran yang kurang aktif dalam fase diskusi daripada yang dibutuhkan
dalam kelompok-kelompok clinical. Beberapa populasi yang tergolong dalam
kelompok-kelompok developmental antara lain:
a. Remaja
dan anak-anak. Pustaka mengenai developmental bibliotherapy dipenuhi
dengan referensi-referensi tentang program-program yang dirancang untuk kaum
muda. Schultheis (dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994) adalah seorang spesialis
membaca yang menggunakan aktivitas membaca dan diskusi yang berorientasi bibliotherapeutic
untuk membantu meningkatkan harga diri diantara mereka yang membutuhkan
bantuan membaca secara khusus. Zaccaria dkk.; Baruth dan Phillips; serta
Benninger dan Belli (dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994) memprofilkan cara-cara
yang digunakan oleh para konselor yang telah menggunakan bibliotherapy untuk
membantu anak-anak dengan masalah-masalah perilaku. Apapun konteksnya, bibliotherapists
yang bekerja dengan anak-anak dan remaja seharusnya memperjelas bahwa
tujuan-tujuan bibliotherapy adalah berbeda dengan tujuan-tujuan dari
kelas tradisional atau kelompok membaca. Dalam bibliotherapy, pustaka
pada umumnya digunakan sebagai suatu alat untuk membantu orang-orang muda
mengatasi isyu-isyu yang sangat kritis pada tahap ini, yaitu identitas diri, kemandirian,
dan makna diri.
b. Orang-orang
dewasa lanjut. Kelompok-kelompok developmental untuk orang-orang
dewasa lanjut dapat diorganisir melalui suatu pusat komunitas, perpustakaan,
gereja, atau panti jompo (retirement home). Fasilitator seharusnya memahami
bahwa karena usia merupakan kriteria utama, populasi ini dapat menjadi sangat
beragam. Tidak saja anggota-anggota dari suatu kelompok sering berasal dari
latar belakang yang cukup berbeda, namun mereka juga bervariasi baik dalam hal
kebutuhan maupun kemampuan untuk mengatasi isyu-isyu seperti menghadapi
kehilangan yang bersifat pribadi dan kematian, menyesuaikan diri dengan
perubahan peran yang penting, atau semakin menurunnya kesehatan fisik.
c. Kelompok-kelompok
pendukung. Kelompok-kelompok developmental ini dibentuk melalui
klinik-klinik bimbingan atau pusat-pusat bimbingan vokasional sebagai bagian
dari suatu program pendukung institusional bagi pegawai. Kelompok-kelompok
puisi dan doa dapat bekerja secara spesifik dalam memperkuat kehidupan spiritual
mereka. Dengan cara yang sama, suatu pertemuan Orang Tua Tunggal dan suatu
program bagi para perempuan korban kekerasan dapat menawarkan sesi-sesi bibliotherapy
untuk membantu para anggotanya menghadapi kenyataan-kenyataan emosional
yang terkait dengan kesulitan-kesulitan spesifik mereka.
d. Orang-orang
yang cacat. Orang-orang yang buta, tuli, lumpuh, atau menderita penyakit
yang kronis dapat memperoleh manfaat dari bibliotherapy. Dalam
kasus-kasus seperti itu, anggota-anggota dari suatu kelompok developmental
bibliotherapy dapat bertemu sebagai bagian dari suatu program rehabilitasi
atau perawatan kronis atau dalam setting komunitas.
e. Pasien-pasien
yang sekarat. Program-program hospice menangani kebutuhan-kebutuhan
emosional dan fisik dari pasien-pasien dengan penyakit terminal dan orang-orang
yang mereka cintai (Butterfield-Picard, dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994). Bibliotherapy
dapat menawarkan kepada pasien dan keluarga mereka suatu cara yang berarti
untuk menghadapi isyu-isyu dan perasaan-perasaan yang kuat yang ditimbulkan
oleh penyakit yang serius, secara spesifik, dengan menggunakan pustaka sebagai
suatu konteks untuk mendiskusikan konsep-konsep dan perasaan-perasaan yang
mungkin cukup sukar bagi pasien dan anggota keluarganya untuk dikemukakan.
Bibliotherapist harus peka terhadap kebutuhan-kebutuhan khusus dari pasien sekarat
serta fleksibel dalam berhubungan dengan mereka. Lamanya waktu baik bagi pasien
maupun anggota keluarganya untuk dapat mengikuti suatu sesi bibliotherapy akan
bervariasi pada masing-masing individu dan hampir pasti akan berubah sehubungan
dengan penyakitnya. Selain itu, pasien-pasien yang sekarat dan keluarga mereka
cenderung untuk memiliki agenda-agenda yang cukup berbeda. Oleh karena itu,
fasilitator harus berhati-hati dalam mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dan
harapan-harapan dari semua yang terlibat dalam menentukan kapan untuk bekerja
secara individual dengan pasien, kapan untuk bertemu secara terpisah dengan
anggota-anggota keluarga, dan kapan suatu sesi bersama mungkin dapat membantu
semuanya untuk mencapai beberapa resolusi hubungan sebelum kematian.
f. Langganan
perpustakaan publik. Para partisipan yang bergabung dalam suatu kelompok developmental
yang ditawarkan melalui perpustakaan publik pada umumnya memiliki
ketertarikan dalam menggunakan pustaka untuk memperkaya kehidupan mereka dan
untuk memperluas pandangan mereka tentang diri mereka sendiri, orang lain, dan
dunia.
c. Aplikasi bibliotherapy
Menurut Sclabassi (dalam Herink, 1980), tingkatan-tingkatan
intervensi dari bibliotherapy dapat dibagi menjadi empat area:
1. Intelektual
Bibliotherapy digunakan untuk menstimulasi individu untuk berpikir dan
menganalisis sikap-sikap dan perilaku-perilaku antar sesi dan memungkinkan
individu untuk menyadari bahwa terdapat berbagai pilihan dalam menangani
masalah. Individu mungkin akan mendapatkan fakta-fakta yang diperlukan untuk
pemecahan masalah, mendapatkan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk membantu
memahami dirinya sendiri, dan memperoleh pemahaman intelektual. Selain itu, bibliotherapy
juga dapat memperluas bidang minat individu. b. Sosial
Bibliotherapy dapat digunakan untuk memperbesar kesadaran individu di luar
kerangka berpikirnya sendiri dan meningkatkan kepekaan sosial dengan berada
(dalam imajinasi) di posisi orang lain. Bibliotherapy dapat digunakan
untuk memperkuat pola-pola sosial dan kultural, menyerap nilai-nilai
kemanusiaan, dan memberikan suatu perasaan memiliki. Selain itu, bibliotherapy
juga membantu menghubungkan ekspresi-ekspresi emosi dan impuls yang tidak
dapat diterima secara sosial dan memfasilitasi pembaca untuk membentuk
tujuan-tujuan hidup yang memuaskan dan kemudian hidup secara lebih efektif.
2. Perilaku
Bibliotherapy dapat memberikan sumbangan pada kompetensi dalam melakukan
aktivitas, memberi individu suatu kesempatan untuk bereksperimen secara
imajinatif dengan berbagai modus perilaku dan membayangkan efek-efek yang
mungkin. Bibliotherapy juga membantu untuk menghambat perilaku infantil,
mempromosikan pertumbuhan dalam pola-pola reaksi, dan mengembangkan
prinsip-prinsip yang bermanfaat untuk bertindak.
3. Emosional
Bibliotherapy dapat menyediakan suatu pengalaman vicarious tanpa
sebelumnya menunjukkan kepada individu risiko-risiko dari pengalaman aktual.
Pembaca dapat memperoleh keyakinan dalam membicarakan tentang
masalah-masalahnya yang biasanya sukar untuk didiskusikan karena
perasaan-perasaan takut, malu, atau bersalah. Bibliotherapy ini akan
mendukung diskusi tanpa diawali rasa malu akan pembukaan rahasia diri secara
eksplisit. Bibliotherapy memungkinkan pembaca untuk membawa
perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman di bawah permukaan pada kesadaran
dan mengembangkan pemahaman emosional. Bibliotherapy dapat memberikan
solusi yang berhasil terhadap masalah-masalah yang serupa pada orang lain,
sehingga menstimulasi keinginan untuk menyelesaikan masalah-masalah individu
sendiri. Bibliotherapy juga dapat membantu individu untuk memahami
motivasi-motivasi diri sendiri dan orang lain dalam situasi tertentu.
4. Psikodrama
Psikodrama
merupakan salah satu pendekatan dalam psikoterapi kelompok yang didasari oleh
alasan teoritik, bahwa latihan berpikir dan bertindak dengan cara yang baru
sangat berguna agar mampu keluar dari permasalahan yang dihadapi individu
(Treadweel dan Kumar, 2002). Psikodrama merupakan metode aksi yang menekankan
pada proses serta penemuan insight melalui penggunaan interaksi sosial antar
anggota kelompok dan pemeranan. Orientasi psikodrama lebih ditekankan pada
masalah individu pada saat ini dan di sini atau dalam konsep kekinian, serta
menemukan pemecahan masalah yang efektif bagi permasalahan yang dihadapi
tersebut.
Sejak
ditelurkannya pertama kali oleh J.L. Moreno pada tahun 1912 sebagai dic
stegreuftheater (drama spontanitas), psikodrama telah menarik perhatian para
praktisi profesional dan klinisi sebagai sebuah metode terapi baru yang
bersumber dari terapi kelompok yang
dikemas dalam bentuk drama, sehingga proses berlangsungnya terapipun akan
berjalan lebih menarik dan berkesan bagi para klien yang melakukannya, karena
selain terjadi interaksi sosial dari sesama anggota tetapi juga terjadi
pertukaran aksi dari masing-masing individu dalam pola berpikir dan bertindak
yang sama sekali baru.
J. L. Moreno
sendiri mendefinisikan psikodrama sebagai ilmu pengetahuan yang mengeksplorasi
kebenaran melalui metode drama. Salah satu tujuannya adalah untuk mengajarkan
orang-orang menyelesaikan permasalahan mereka pada kehidupan dunia yang kecil
(kelompok), bebas dari batasan-batasan konvensional dengan mengekspresikan
permasalahan, ambisi, impian, dan ketakutan mereka. Metode ini menekankan
keterlibatan maksimal dengan orang lain ketika menginvestigasikan permasalahan
pada masa sekarang, sebagai tambahan berhubungan dengan memori awal dan
persepsi atau pandangan seseorang. Jadi pada hakekatnya psikodrama merupakan
proses sandiwara (dengan berpura-pura) serta proses pertunjukan yang dikemas
menjadi sebuah drama yang bermakna. Syarat utamanya adalah kreativitas dan
spontanitas dari masing-masing personil yang terlibat. Sehingga jika sebuah
adegan telah disetujui oleh sutradara dan anggota kelompok serta pemeran utama
telah terpilih, kemudian setting telah dideskripsikan dalam komunikasi verbal,
maka pertunjukan dimulai. Kemudian pelaku utama distimulus untuk melakukan
tindakan (berbicara sesuai dengan masa kini ketika menunjuk kejadian masa
lalu). Sutradara mencari dan menemukan siapa saja yang penting bagi kehidupan seseorang
yang akan ditampilkan pada adegan (contohnya orang tua, saudara kandung, dan
lain sebagainya) dan akan meminta tokoh utama memilih anggota lain yang dapat
memainkan ego-ego tambahan (karakter) tersebut. Batas umur dan jenis kelamin
tidak begitu diperhatikan, pemilihan individu yang akan memainkan peran
tertentu dilihat pada faktor kesulitan dan kerumitan.
Psikodrama
merupakan suatu konsep dari kombinasi antara pengetahuan dan seni, karena untuk
menjadi seorang ahli psikodrama atau (sutradara / terapis) dituntut untuk mampu
memberikan perubahan berupa imaginasi, keingintahuan, bermain secara penuh,
melucu, empati, keberanian, pengetahuan, kematangan dalam penguasaan metode,
serta memiliki syarat-syarat: (1) punya penampilan yang optimistik dan afirmatif
terhadap kelompok yang potensial. (2) mampu memotivasi kreativitas dan
memilikinya serta memprovokasi spontanitas. (3) percaya diri dan yakin bahwa
sesuatu yang positif akan terjadi. (4) menciptakan suasana atau atmosfir yang
berpotensi magis. (5) memiliki kepekaan terhadap situasi dan kondisi yang tidak
diketahui, tidak ternyatakan, dan tidak terlahirkan dalam aksi psikodrama. (6)
harus memiliki rasa bermain drama yang sejati, menyenangkan, segar dan humoris.
(7) harus punya kemampuan untuk mengambil resiko, mendorong (membesarkan hati),
menstimulasi dan mempengaruhi klien..
a.
Elemen Pendukung dan Tahapan Terapi
Berbagai macam
gangguan dan masalah yang dihadapi individu di klaim mampu diterapi demngan
menggunakan metode ini, hal ini tidak lepas dari adanya kombinasi yang kuat
dari dua faktor, yaitu inspiration and technique. Inspiration adalah proses
untuk kreativitas dan spontanitas yang memungkinkan individu menciptakan
sesuatu yang baru. Seseorang yang terinspirasi telah dimasuki dan antusias oleh
perasaan dan pemikiran orang lain. Ketika terinspirasi, rasanya seperti
menghirup udara baru. Untuk memulai aksi sebuah drama, diperlukan adanya lima
elemen dasar yang menjadi modal utama berlangsungnya psikodrama, yaitu:
1)
Pemeran
utama (Protagonist), pemeran utama akan menjadi fokus dalam psikodrama, yang
juga menjadi anggota kelompok untuk mengeksplorasi masalah-masalah pribadi
mereka dalam sesi terapi.
2)
Sutradara
atau Terapis (Director), adalah orang yang memberi petunjuk dan memfasilitasi
berbagai aksi drama.
3)
Pembantu
aksi (The Auxiliary Egos), adalah anggota kelompok (atau asisten terapis) yang
bermain sebagai orang penting dalam kehidupan klien, yang membantu dalam aksi
drama.
4)
Penonton
(The Audience), terdiri dari anggta kelompok yang secara tidak langsung
terlibat dalam permainan. Berperan secara langsung maupun tidak dalam drama,
mengingatkan secara aktif dan positif serta terlibat dalam proses aksi.
5)
Panggung
(the Stage), panggung sifatnya sangat fleksibel, secara sederhana maupun
kompleks. Bahkan dapat juga dideskripsikan dengan verbal tentang keadaan
pendukung pentas dalam sebuah ruangan, seperti televisi, mobil dan lain
sebagainya.
Kelima elemen
dasar tersebut merupakan prasyarat wajib yang harus ada dalam proses
psikodrama. Jika kelima hal tersebut telah terpenuhi, maka hal lainnya yang
tidak kalah pentingnya adalah tahapan proses berlangsungnya aksi dari
psikodrama. Adapun tahapan yang harus dilewati meliputi di bawah ini:
1)
Warm-up (Pemanasan), pemanasan
dilakukan untuk merangsnag kreativitas dan spontanitas dari anggota kelompok.
Psikodrama seharusnya dipandang sebagai proses dimana secara individu (anggota
kelompok dan sutradara) yang mendorong untuk mengembangkan dan menggunakan
potenmsinya sendiri untuk berkreasi secara kreatif dan spontan.
2)
Enactment
(Pemeranan), dilakukan untuk memudahkan interaksi dalam kelompok, meingkatkan
rasa percaya dan keanggotaan melalui teknik yang mendorong interaksi antara
individu (misalnya, membagi nama, pengalaman, aktivitas fisik yang melibatkan
bebrapa sentuhan atau komunikasi nonverbal). Proses pemanasan ini dapat
meningkatkan kepaduan dari kelompok, sementara pada waktu yang sama memberikan
anggota untuk mendapat beberapa rasa kuat dan kualitas yang bervariasi dari
individu dalam kelompok. Fase ini memiliki banyak kesamaan dengan proses yang
dapat diamati di dalam menghadapi kelompok atau sesi drama terapi, atau sebagai
pemanasan dalam berbagai kehidupan sehari-hari.
3)
Sharing, sharing
dilakukan untuk membantu anggota fokus pada masalah-masalah pribadi yang
diharapkan melakukan beberapa pekerjaan dalam sesi psikodrama. Ini harapan
seseorang atau banyak orang yang muncul dari protagonis (kebutuhan individu)
terpusat, proses pemanasan dan meletakkan diri mereka untuk menjadi fokus dari
enactment (pemeranan).
b.
Teknik yang Digunakan
Dalam
psikodrama klasik sedikitnya ada lima teknik penting yang sering digunakan,
antara lain:
1.
Role reversal (pemutaran peran)
Tokoh utama
memainkan peran lainnya dan pemeran pembatu memainkan tokoh utama secara
bergantian. Pemutaran peran ini mempunyai beberapa manfaat pada proses
psikodramatis, yaitu anggota lain dalam kelomok tersebut boleh mendapatkan
gambaran yang lebih lengkap mengenai padangan tokoh utama terhadap orang-orang
penting dalam kehidupan mereka melalui dramtisasi mereka pada individu
tersebut. Tokoh utama dapat merasakan dunia dari pandangan orang lain dan
dengan posisi ini tokoh utama menerima umpan balik dari pemeranan tokoh
pembantu yang telah memainkan perannya. Pengalaman ini dapat begitu
berpengaruh, bermanfaat dan sebagai terapi. Pemutaran peran juga digunakan
untuk mendorong tokoh utama mengembangkan kontrol diri dimana tokoh utama harus
mengalami perasaan, pandangan objektif, semangat dan mungkin kejam terhadap
orang lain.
2.
Doubling (penggandaan)
Adalah suatu
cara dimana tokoh utama digabungkan dengan anggota lain pada kelompok tersebut,
yang menjadi anggota aktif pada proses pertunjukan. Duduk berdekatan dengan
tokoh utama dan melakukan gerakan-gerakan fisik yang sama. Peran ganda
berfungsi sebagai pendukung dalam menunjukkan posisi dan kondisi perasaan dari
tokoh utama yang sedang memainkan psikodrama tersebut. Ketika diungkapkan
pikiran dan perasaannya tersebut mungkin diterima oleh tokoh utama atau pada
saat ia akan memfrasekan ketidaksukaannya dengan menggunakan bahasanya sendiri
atau menolaknya karena tidak sesuai. Situasi tersebut akan membantu tokoh utama
menyusun komentarnya kembali, seperti pernyataan “bukan, bukan itu,
sebenarnya.................”. sehingga tokoh utama dapat mengembangkan
pengetahuan dirinya. Selebihnya dengan perjalanan waktu, tokoh utama akan
menemukan bahwa pernyataan ganda tersebut lebih sesuai daripada pernyataan yang
diungkapkan dengan menggunakan pikiran awal.
3.
Surplus reality (kenyataan surplus)
Pemaknaan
dilakukan berulangkali ketika adegan dan kejadian dimainkan. Jadi teknik ini
akan enggambarkan bahwa sesuatu yang tidak pernah terjadi, tidak akan pernah
terjadi. Kemampuan untuk melakukan adegan ini merupakan gabungan perasaan
takut, emosi, fantasi dan harapan yang menjadi salah satui kekuatan magis dari
proses psikodramatis. Adegan mengenai pernah mengalami kenyataan surplus
merupakan salah satu cara terapi yang unik pada psikodrama.
4.
Mirroring (pencerminan)
Suatu proses
dimana tokoh utama digantikan oleh anggota lain pada drama tersebut, yang
memperbolehkan tokoh tersebut berdiri berdampingan dan melihat drama atau
adegan secara luas dan jelas. Hal ini mendorong kepekaan protagonist menjadi
lebih objektif ketika berinteraksi dengan orang lain.
5.
Closure / completion (penutupan /
penyelesaian)
Proses dimana
pertunjukan dramatis dari permasalahan tokoh utama serta situasi kehiduapannya
diambil secara utuh. Rancangan sesi psikodrama seringkali dimulai dengan
permasalahan masa sekarang, kemudian berlanjut pada pengalaman tokoh utama di
masa sebulumnya. Ketika drama tersebut berlanjut, adegan dari masa lalu
ditampilkan kembali ke masa kanak-kanak. Pada tahap-tahap psikodrama, proses
tersebut dilakukan secara berulang, antara saat ini dnegan masa lalu. Tetapi
dengan versi yang disampaikan oleh pengalaman emosional dan kognitif dari
psikodrama. Sebagai contoh, seorang pria yang memulai psikodramanya dengan
membahas secara terus menerus dengan pekerjaannya. Kemungkinan pada proses
pertunjukan mengalami kesulitan dengan ayahnya. Pada bagian penutup atau
penyelesaian dari psikodrama, ia akan mengulang kembali adegan-adegan dengan
pekerja tersebut, untungnya mengelola kenyataan tersebut dengan cara yang
berbeda melalui pemahaman yang ditingkatkan dan pengalaman tentang hubungan yang
tidak harmonis dengan ayahnya (pada masa lalu) dan dengan pekerjaannya (pada
masa sekarang).
Sedangkan
psikodrama yang modern, teknik yang digunakan banyak sekali, sehingga butuh
ruang untuk menjelaskannya satu persatu. Menurut Blatner (2000) teknik-teknik
yang biasa digunakan dalam psikodrama modern, diantaranya adalah warm-up,
advice giving, amplification, behind the back, breaking in, coaching, cutting
the action, dance and movement, de-roling, directed dialogue. Double, ego
building, emty chair, future projection, goodbye scenes, idealization,
identity, jugment scene, letter, magic shop, mirroring, monodrama, non-verbal
techniques, personification, photograph warm-up, puppets, remote control,
replay, role presentation, shared secrets, silent auxiliary, soliloquy,
substitute role, symbolic distance, telephone, touching, dan voluntary double. Sedangkan
menurut Kipper dan Hundal (2003) teknik psikodrama modern yang digunakan,
antara lain role playing, empty chair, mirroring, role reversal, double,
jugjement, surplus reality, past projection, fantasy play, auxiliary ego,
future projection, alter ego, age reggression, hot seat, letter writing, magic
shop dan pillow.
c.
Aplikasi Psikodrama
Tujuan utama
dari psikodrama adalah untuk memberikan intervensi kepada individu agar dapat
keluar dari masalah yang dihadapinya. Intervensi itu sendiri merupakan campur
tangan terapis atau sutradara dalam membantu individu menemukan insight
(pencerahan) sebagai jalan keluar dari permasalahannya. Di samping itu, menurut
Munir (2004) dengan metode psikodrama ini, individu yang diterapi akan mampu
mengembangkan pribadinya secara lebih baik. Dimensi perkembangan pribadi yang
dapat dicapai antara lain:
1)
Self awarness,
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran diri yang ada kaitannya dengan
klarifikasi perasaan, tujuan, kekuatan, kelemahan, kebutuhan dan rasa takut.
2)
Interpersonal skills,
berkaitan dengan peningkatan kapasitas kepercayaan, kemandirian, inisiatif,
keterbukaan diri, dan ketegasan sikap. Individu juga dapat meningkatkan kesadaran
tentang kelemahan orang lain, kebutuhan-kebutuhannya, ketakutannya, dan
perbedaan temperamen dari orang lain. Mampu melakukan interaksi sosial dan
komunikasi, dapat menyampaikan kapasitas dirinya secara jelas dan tepat. Serta
mampu untuk mendengarkan, dan berempati tanpa distorsi.
3)
Value system,
berkaitan dengan pandangan hidup positif khususnya tentang makna kematian, hidup,
spiritual dan lebih rasional.
4)
Spontanitas,
agar mampu bermain secara penuh, dapat berimprovisasi, berpartisipasi dalam
seni, lagu, tari, drama dan humor.
5)
Sensory awakening,
berkaitan dengan gerak tubuh, irama, perasan, keseimbangan, penggunaan sentuhan
& sensualitas
6)
Imagination,
berkaitan dengan pengelolaan kemampuan menggunakan asosiasi, mimpi, simbol,
gambar, petunjuk fantasi, intuisi, dan mampu bercerita tentang kondisi dirinya
sendiri.