Kamis, 23 Oktober 2014

MEDIA PENYULUHAN DAN PSIKOTERAPI



MEDIA PENYULUHAN DAN PSIKOTERAPI

A. Media Penyuluhan Bimbingan Konseling Sosial Islam
1. Pengertian Penyuluhan Bimbingan Konseling Sosial Islam
Bimbingan konseling sosial islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu, kelompok atau masyarakat agar senantiasa menyadari eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya dalam kehidupan kemasyarakatannya senantiasa selaras dengan ketentuan dan petunjuk-Nya, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Faqih, 2004:149). Bimbingan sosial islam dalam aplikasinya menurut (Faqih, 2004: 150) lebih banyak ditekankan pada proses pencegahan atau upaya-upaya yang sifatnya preventif terhadap munculnya berbagai masalah pada diri individu, kelompok atau masyarakat luas. Dengan demikian bimbingan konseling sosial islam merupakan proses untuk membantu individu, kelompok dan masyarakat luas agar memahami, menghayati, serta rela dan mampu menjalankan ketentuan dan petunjuk Allah dalam hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan aplikasi konseling sosial islam penekanannya lebih banyak pada upaya kuratif atau pemulihan/penyembuhan, yakni mengatasi berbagai persoalaan yang sedang dihadapi individu. Secara islami, konseling sosial berarti membantu individu untuk menyadari kembali eksistensinya sebagai makhluk Allah yang harus senantiasa hidup bermasyarakat sesuai dengan ketentuan dan petunjuk Allah. Istilah “menyadari kembali” dikaitkan dengan kenyataan bahwa yang memiliki problem kehidupan bermasyarakat adalah orang yang tidak atau kurang sepenuhnya hidup bermasyarakat sesuai dengan ketentuan dan petunjuk Allah SWT, sadar atau tidak sadar.
Pengertian tersebut mengindikasikan bahwa penyuluhan bimbingan dan konseling sosial islam adalah proses bantuan melalui metode penyuluhan secara individual maupun kelompok atau massal dengan penyampaian langsung maupun secara tidak langsung melalui media untuk mengajak individu dan masyarakat untuk kembali menelusuri ketentuan petunjuk Allah untuk hidup bermasyarakat, memahami dan mengahayati kembali, serta mencoba berusaha menjalankan sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana dilakukan sekarang yang menunjukkan perilaku menyimpang.
2. Tujuan Penyuluhan Bimbingan dan Konseling Sosial Islam
Berdasarkan rumusan pengertian dan konseling sosial islam seperti telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan penyuluhan bimbingan dan konseling sosial islam adalah untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat luas mencegah timbulnya berbagai persoalan yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat (Faqih, 150-151), antara lain dengan jalan: (1) membantu individu, kelompok dan masyarakat memahami dan menghayati manfaat serta sanggup dan mampu menjalankan ketentuan dan petunjuk Allah tentang tata cara hidup bermasyarakat. (2) membantu individu, kelompok dan masyarakat luas mencegah timbulnya berbagai persoalan yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, dengan membantu pemahaman dan penghayatan terhadap kondisi lingkungan sosialnya. Kemudian, membantu menemukan berbagai cara menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan serta membantu menetapkan pilihan dalam upaya pencegahan masalah yang dihadapi dalam hidup bermasyarakat. (3) membantu individu, kelompok dan masyarakat luas memelihara serta melestarikan situasi dan kondisi lingkungan dalam kehidupan kemasyarakatannya agar tetap baik dan mengembangkannya supaya lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan senantiasa memelihara situasi dan kondisi kehidupan bermasyarakatnya yang semula menghadapi masalah dan telah teratasi agar tidak muncul kembali. Kemudian mengembangkan situasi dan kondisi kehidupan bermasyarakatnya yang lebih kondunsif dan berjalan lebih baik lagi.
3. Program Penyuluhan Bimbingan dan Konseling Islam Melalui Media
Selain memandang kehidupan kemasyarakatan secara “Das Sein” atau apa adanya. Islam memberikan pula rambu-rambu mengenai bagaimana konsep kehidupan kemasyarakatan yang ideal “Das Sollen”. Konsep kehidupan kemasyarakatan yang ideal menurut Faqih (2004: 142-148) itu dapat dirinci sebagai berikut:
a. Hubungan antar individu
1)       Hubungan antar individu dalam keluarga, mengenai bagaimana kehidupan dan hubungan individu dengan individu lain dalam keluarga telah diuraikan dalam uraian mengenai bimbingan dan konseling pernikahan dan keluarga islami. Agar keluarga yang dibentuk menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, maka hendaknya memenuhi lima fondasi berikut: (1) Memiliki sikap ingin menguasai dan mengamalkan ilmu-ilmu agama. (2) Yang lebih muda menghormati yang lebih tua. (3) Berusaha memperoleh rezeki yang memadai. (4) Hemat (efisien dan efektif) dalam membelanjakan harta. (5) Mampu melihat segala kekurangan dan kesalahan diri, segera bertaubat.
2)       Hubungan antar keluarga, adapun pembinaan kehidupan rumah tangga agar menjadi keluarga yang sakinah, maka dapat dilakukan beberapa hal di bawah ini: (1) pembinaan penghayatan ajaran agama islam, keluarga islami adalah keluarga yang seluruh anggotanya memiliki kecenderungan yang besar untuk senantiasa mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama islam. (2) pembinaan sikap saling menghormati, hubunan dalam keluarga yang harmonis, serasi merupakan unsur mutlak terciptanya kebahagiaan hidup. Hubungan yang harmonis akan tercapai manakala dalam keluarga dikembangkan, dibina, sikap saling menghormati dalam arti satu sama lain memberikan penghargaan sesuai dengan status dan kedudukannya masing-masing. (3) pembinaan kemauan berusaha, manusia hidup memerlukan berbagai pemenuhan kebutuhan, secara serasi, selaras, seimbang, dan harmonis. Untuk itu manusia harus senantiasa berusaha, bekerja agar untuk kehidupannya ada rezeki yang bisa diperoleh. Manusia hidup perlu makan dan penghidupan yang layak. (4) pembinaan sikap hidup efisien. Bersikap efisien tidak berarti bersikap kikir. Efisien bukan Cuma dilihat dari sudut pengeluaran, tetapi juga dari sudut energi manusia, artinya efisien tanpa mengorbankan diri. (5) pembinaan sikap mawas diri. Sikap ini perlu ditanamkan dalam setiap anggota keluarga, agar jika melakukan kesalahan dapat menyadarinya bahwa  setiap manusia tidak ada yang tidak pernah melakukan kesalahan, sehingga tidak ada yang dikambinhitamkan. Dan jika melakukan kesalahan segera meminta maaf dan mau menerima teguran dan kritik.
3)       Hubungan antar masyarakat luas, mengenai bagaimana seharusnya pola atau proses hubungan antar individu dalam masyarakat luas, yakni pola atau proses hubungan yang dapat menimbulkan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi seluruh individu yang terlibat, dengan berlandaskan: (1) kemanfaatan, artinya hubungan antar individu dalam kehidupan kemasyarakatan itu hendaknya memberikan kemanfaatan, bukan kemudaratan bagi semua pihak baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses hubungan tersebut. (2) kasih sayang, artinya dalam melakukan hubungan kemasyarakatan dengan individu lain dilakukan dengan penuh kasih sayang. (3) saling menghargai dan menghormati, artinya menghargai dan menghormati orang lain secara wajar. (4) menumbuhkan rasa aman pada individu lain, artinya keberadaan seseorang menjadikan orang lain tenteram lahiriah dan batiniah, bukan sebaliknya. (5) kerjasama konstruktif, artinya setiap individu berusaha membantu individu lain untuk saling meninggikan derajat kemanusiannya masing-masing. (6) toleransi, artinya terhadap orang yang berlainan agama dikembangkan sikap saling menghargai. (7) keadilan, artinya setiap orang menghargai hak orang lain dan berkewajiban memberikan apa yang menjadi hak orang lain itu tanpa mengorbankan apa yang menjadi haknya.
b. Pembinaan kelompok intern (Muslim)
Telah diketahui bahwa secara agamis, umat islam terikat oleh keagamaannya sebagai suatu kelompok tersendiri yang berbeda dari kelompok lainnya. Kelompok besar umat islam ini bisa terdiri dari berbagai kelompok dan organisasi yang lebih kecil lagi. Kesatua umat islam di samping secara emosional diikat oleh rasa kesatuaagamaan, juga dilandasi oleh pedoman yang digariskan oleh Allah untuk senantiasa menjadi satu kesatuan. Pola pembinaan umat, walaupun pada akhirnya akan berkaitan juga dengan umat atau kelompok lain, tercermin pula dari pola pembinaan umat islam masa awal hijrah Rasullullah, yaitu melakukan empat langkah; mendirikan masjid, mempersaudarakan muhajirin dan ansar, serta membuat perjanjian damai dengan orang non muslim yahudi dan nasrani, serta meletakkan dasar-dasar sistem budaya islam. Telah diketahui bersama bahwa ka’bah merupakan simbol persatuan umat islam sedunia. Masjid dapat dikatakan merupakan simbol persatuan islam untuk tingkat lokal, di samping merupakan pusat ibadah dan kebudayaan islam, juga sebagai simbol kebersamaan sekaligus fasilitas untuk berinteraksi (berjamaah) guna melaksanakan ajaran islam. Tahap kedua adalah membina rasa persatuan antar berbagai kelompok umat islam, baik karena latar belakang asal-usul (keturunan, kedaerahan dan lain sebaginya), perbedaan hal yang tidak prinsipil dalam melaksanakan ajaran islam, maupun karena perbedaan minat, interes dan sebaginya. Ketiga, membina kesatuan umat islam tanpa merugikan kepentingan umat lain. Tegasnya menanamkan kesadaran pada umat islam untuk bersikap toleran terhadap umat lain. Keempat, mengembangkan budaya islam dan nilai-nilai islam yang akan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan umat islam, sekaligus untuk melestarikan keberadaan umat islam sendiri.
c. Pembinaan hubungan dengan kelompok lain
Dengan kelompok lain atau non muslim, islam mengajarkan untuk hidup berdampingan dengan cara saling memberi manfaat, tidak saling merugikan. Ini tercermin antara lain dari tahap ketiga.
Bagaimana penggunaan media untuk penyuluhan bimbingan sosial islam ini dilakukan?. Prosesnya sangat sederhana sekali dengan menggali berbagai hal yang dapat dieksplorasi agar dapat menyesuaikan kondisi sosial masyarakat pada suatu wilayah atau sasaran tertentu. Misalnya penggunaan poster untuk wilayah keluharan di suatu daerah, guna pencapaian masyarakat sosial islam yang berakhlakul karimah sesuai ketentuan Allah SWT. Maka kita dapat memanfaatkan media poster dengan membuatnya dengan isi himbauan dan sindiran serta ajakan untuk memperbaiki sikap dan perilaku menjadi akhlah yang mulia. Poster yang digunakan sebaiknya dibuat seindah semenarik mungkin, bahkan isinyapun dapat dinukilkan dari suatu ayat Al-Quran atau Hadits.
Media lainnya yang dapat digunakan adalah media internet dengan membangun situs-situs website yang bernuasa pembinaan bagi masyarakat muslin di berbagai lapisan masyarakat di berbagai penjuru tanah air, bahkan dunia sekalipun. Karena internet sangat mudah dikelola dan dimaksimalkan bagi kepentingan umat islam. Media yang tidak kalah pentingnya adalah media audio dan audio visual, bahkan media cetak sudah menjadi konsumsi publik adalah buletin jumat, sebagai media untuk pembinaan dan penyuluhan internal komunitas masyarakat muslim. Media siaran radio dan televisi, sudah lama sekali menayangkan program rohani setelah selesai shalat subuh, hampir di seluruh stasiun TV dan Radio memiliki acara tausiah ini.
Kemudian bagaimana memanfaatkan masjid sebagai pusat pengelolaan dan pengembangan media penyuluhan masyarakat sosial islam, tidak hanya mengandalkan papan pengumunan dan media buletin saja, tetapi juga media lainnya yang dapat menunjang keberhasilan program pembinaan dan penyuluhan masyarakat sosial islam yang utuh dan sesuai harapan Rasulullah SAW.

B. Media Psikoterapi
1. Musik Sebagai Media Psikoterapi
Asal kata musik bersumber dari kata “muse” yang diadaptasi ke dalam Bahasa Inggris menjadi “music” yang mengandung makna “bentuk renungan”. Musik lahir dari kecintaan manusia pada kehidupan dan dilandasi oleh ingatan manusia akan pengalaman-pengalaman hidup yang telah dialami (Campbell, 1997). Musik merupakan hasil teknologi media audio yang mengandalkan fungsi indera pendengaran sebagai penangkap musik bagi manusia. Mendengar menurut Campbell (1997) adalah kemampuan untuk menerima informasi auditif melalui telinga, kulit dan tulang-belulang. Sedangkan, mendengarkan adalah kemampuan menyaring, memusatkan perhatian secara selektif, mengingat, dan menanggapi bunyi. Jadi, mendengar adalah tindakan pasif sedangkan mendengarkan adalah tindakan aktif. Seseorang menangkap stimulus ritmis bunyi lewat indra pendengarannya, lalu stimulus ritmis diteruskan ke sistem saraf di otak yang mereorganisasi interpretasi bunyi ke dalam ritme internal pendengar. Interpretasi bunyi yang sesuai dengan ritme internal pendengar akan mempengaruhi proses metabolisme tubuh menjadi lebih baik. Metabolisme tubuh yang lebih baik akan meningkatkan sistem kekebalan, dan dengan sistem kekebalan yang lebih baik maka tubuh menjadi lebih tangguh terhadap kemungkinan serangan penyakit.
Kata “musik” dan “terapi musik” digunakan untuk menjelaskan media yang digunakan secara khusus da;am rangkaian terapi. Terpi musik adalah terapi yang bersifat nonverbal. Dengan bantuan musik, pikiran klien dibiarkan untuk mengembara, baik mengenang hal-hal yang membahagiakan, membayangkan ketakutan-ketakutan yang dirasakan, mengangankan hal-hal yang diimpikan dan dicita-citakan, atau langsung mencoba menguraikan permasalahan yang sedang dihadapi (Djohan, 2006: 24).
Menurut Darrow dkk (1985) media musik sebagai bagian dari psikoterapi didasarkan pada delapan alasan, yaitu; (i) keberhasilan musik (sebagai terapeutik) tidak tergantung pada pencapaian keahlian yang telah ditetapkan sebelumnya, (ii) bahwa musik dapat merubah dan membangkitkan emosi, (iii) musik dapat menstimulasi asosiasi diluar musikal, (iv) musik yang mestimulasi dan menenangkan dapat mempunyai pengaruh yang berbeda pada individu yang berbeda, (v) musik dapat mempengaruhi proses fisiologis, (vi) musik dapat melukai dalam kondisi-kondisi tertentu, (vii) musik mempunyai penerapan terapeutik yang variatif, (viii) musik dapat digunakan dalam preventif an kesehatan.
Berdasarkan hasil Simposium Internasional Terapis Musik pada tahun 1982 menghasilkan formulasi bahwa terapi musik memfasilitasi proses kreatif keluar dari kekosongan secara fisik, emosional, mental, dan self-spiritual ke suatu area seperti kemandirian, kebebasan untuk berubah, kemampuan menyesuaikan diri, keseimbangan dan integritas pribadi. Penerapan terapi musik melibatkan interaksi terapis, klien dan musik. Interaksi- interaksi ini akan merangsang dan mempertahankan proses perubahan yang mungkin dapat diamati atau tidak. Seiring dengan berkembangnya elemen-elemen musik seperti rithm, melodi dan harmoni dalam waktu, terapis dan klien dapat membangun hubungan yang mengoptimalkan kualitas hidup. Lundberg (dalam Feinstein, 1999) menjelaskan bahwa terapi musik pada  hakekatnya adalah membangun hubungan antara pasien dan terapis yang terlatih menggunakan musik sebagai dasar komunikasi. Pasien dan terapist berpartisipasi aktif dalam sesi terapi lewat memainkan alat musik, menyanyi, atau mendengarkan musik. Terapis tidak mengajarkan bagaimana bernyanyi atau memainkan alat musik, lebih pada pemanfaatan alat musik dan bunyi untuk mengeksplorasi dunia bunyi dan menciptakan bahasa musik secara umum. Perhimpunan Terapis Musik Kanada (1984) mendefinisikan terapi musik sebagai pemanfaatan kemampuan musik dan elemen musik oleh terapis untuk menaikkan, merawat, dan memperbaiki mental, emosional, dan kesehatan spiritual. Musik mengandung kualitas nonverbal, struktur kreatif, dan emosional. Inilah yang digunakan dalam hubungan terapeutik untuk memfasilitasi kontak, selfawareness, belajar, ekspresi diri, komunikasi, dan perkembangan pribadi.
Melalui media berupa alat musik menurut Djohan (2006: 24) klien juga didorong untuk berinteraksi, berimprovisasi, mendengarkan atau aktif bermain musik, tanpa harus mengucapkan kata-kata. Mislanya, klien dapat mengekspresikan kemarahannya dengan berimprovisasi di alat musik. Pada penderita alzheimer yang kehilangan kemampuan berbahasa dapat dilakukan memperdengarkan lagu-lau kenangan atau hanya sekedar mendengar mengikuti irama musik. Lewinsohn dan Graf (dalam Rathus, 1986) berpendapat bahwa salah satu cara mengatasi depresi adalah melakukan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan emosi positif, aktivitas yang tidak sesuai dengan keadaan depresi. Aktivitas yang berhubungan dengan emosi positif misalkan tertawa, memikirkan orang yang dicintai, melihat pemandangan yang indah, mendengarkan musik, dan lain sebagainya. Mendengarkan musik dapat membuat seseorang merasa sedih, gembira, dan mengalami berbagai pengalaman emosi lainnya.
Secara psikologis musik berkaitan dengan emosi manusia. Fisher, dkk (1990) membagi emosi ke dalam dua kategori, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif terdiri atas cinta dan bahagia. Emosi negatif terdiri atas marah, sedih, dan takut. Cinta terdiri atas kesukaan dan birahi. Bahagia terdiri atas bliss, kepuasaan dan kebanggaan. Istilah bliss agak sulit diterjemahkan karena pada hakekatnya menunjukkan rasa bahagia juga, tapi dalam bliss ini kebahagiaan yang dimaksud cenderung melibatkan perasaan terlepas dari tekanan dan dirasakan sebagai perasaaan yang amat ringan. Emosi negatif marah terdiri dari perasaan terganggu, perasaan bermusuhan, perasaan terhina, dan perasaan iri. Adapun kesedihan meliputi perasaan menderita, duka, rasa bersalah dan kesepian. Selanjutnya rasa takut terdiri atas perasaan seram dan cemas. Penjelasan emosi dari Fisher tersebut membuktikan bahwa setiap individu memiliki rentang serta kedalaman emosi yang unik. Luasnya rentang emosi pada diri individu perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam memanfaatkan musik tertentu untuk menggugah kondisi emosi individu yang bersangkutan. Jika individu yang bersangkutan tengah mengalami tekanan hidup yang menyebabkan depresi, perlu diwaspadai bila diperdengarkan musik-musik yang bernuansa kesedihan. Secara umum musik-musik tersebut mungkin menambah rasa sedih yang dialaminya menjadi suatu penderitaan, rasa bersalah atau kesepian. Jika hal ini terjadi individu akan semakin menarik diri dari kehidupan sosial, merasa hidup tidak lagi berharga, dan semakin lama hal ini semakin kuat mendorong individu untuk mengakhiri hidup (Satiadarma, 2002). Jadi, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mendengarkan musik tertentu dapat mengalami emosi tertentu pula, dan emosi yang timbul tidak sama diantara beberapa individu. Sebaliknya, ketika menciptakan musik, pencipta dipengaruhi oleh nada emosional tertentu sehingga ada kesenjangan antara emosi pencipta dan pendengar, meskipun demikian kesenjangan yang muncul biasanya masih berada dalam kelompok emosi tertentu bukan yang berlawanan. Oleh karena itulah untuk menggugah emosi seseorang perlu mempertimbangkan nuansa emosi dalam musik yang akan diperdengarkan.



a. Elemen-elemen Dalam Terapi Musik
Untuk dapat disebut sebagai terapi musik maka perlu ada beberapa elemen penting yaitu: (a) terapi musik dianjurkan oleh anggota dari tim yang merawat klien. Anggota tim termasuk di dalamnya dokter, pekerja sosial, psikolog, guru, dan orangtua; (b) Musik adalah alat terapi utama. Musik dipakai untuk menstabilkan hubungan yang saling percaya, ahli terapi musik lalu bekerja untuk meningkatkan fungsi fisik dan mental secara hati-hati lewat aktivitas yang terstruktur. Misalkan, menyanyi, mendengarkan, memainkan alat musik, menciptakan, dan latihan imaginasi; (c) Musik diselenggarakan oleh ahli terapi musik yang terlatih. Pelatihan dan pendidikan ahli terapi musik haruslah luas. Intervensi musikal dikembangkan dan digunakan oleh ahli terapi berdasarkan pengetahuannya terhadap efek musik terhadap perilaku, kekuatan dan kelemahan klien, dan tujuan terapi; (d) Terapi musik diterima oleh klien dan targetnya pada populasi dan usia yang beragam; (e) Terapi musik dilaksanakan untuk mencapai tujuan terapeutik yang spesifik dan objektif. Sangat penting untuk disadari bahwa meskipun klien mungkin mengembangkan kemampuan musikal mereka selama terapi, tapi kemampuan ini bukanlah perhatian utama ahli terapi. Perhatian utama ahli terapi adalah pada perkembangan pengaruh musik pada fisik, psikologis, dan fungsi sosial-ekonomi klien (Linberg, 1999). Simposium Internasional Ahli-Ahli Terapi Musik (1982) menjelaskan bahwa elemen terapi musik adalah irama, melodi dan harmoni. Irama adalah sekelompok nada tertentu dengan nilai not bervariasi yang diulang- ulang secara teratur dan menjadi bagian dari sebuah lagu. Melodi adalah sekumpulan nada yang dibunyikan secara berurutan. Harmoni adalah sekumpulan nada yang berbunyi bersamaan dan membentuk suasana musikal tertentu.
b. Metode yang Digunakan dalam Terapi Musik
American Music Therapy Assosiation (2003) menjelaskan bahwa dalam terapi musik, seorang terapis mengukur kesejahteraan emosional, kesehatan fisik, fungsi sosial, kemampuan komunikasi dan kemampuan kognitif klien lewat fungsi musikal klien; menyusun sesi musik sesuai kebutuhan klien dan kelompok seperti mendengarkan musik, menuliskan lagu, mendiskusikan lirik, musik dan imajinasi, memainkan alat musik, dan belajar lewat musik.
Canadian Assosiation of Music Therapy (1994) menjelaskan bahwa cara-cara yang dapat digunakan dalam terapi musik adalah : (a) menyanyi; dapat digunakan untuk individu yang mengalami kelemahan dalam berbicara seperti artikulasi, tempo, dan kontrol nafas. Dalam kelompok, individu dapat belajar menyadari keberadaan orang lain dengan menyanyi bersama-sama. Lagu-lagu dapat menolong orang-orang yang berusia lanjut untuk mengingat kejadian-kejadian penting dalam hidup mereka yang ingin dibagikan dengan orang lain. Lirik dapat digunakan untuk membantu individu-individu dengan keterbelakangan mental dalam melakukan tugas-tugas yang berurutan; (b) memainkan alat musik, dapat meningkatkan koordinasi motorik pada individu dengan hambatan motorik. Memainkan alat musik dalam kelompok akan membantu individu belajar mengontrol dorongandorongan yang merusak. Mempelajari sebagian kecil musik dan memainkannya akan mengembangkan kemampuan musikal dan membantu membangun daya lentur self, kepercayaan diri dan disiplin diri; (c) bergoyang, digunakan untuk mendorong perluasan perasaan, gerakan bersama, kekuatan, keseimbangan, koordinasi, konsistensi pola pernapasan, dan relaksasi otot-otot. Komponen tempo dalam musik ini membantu meningkatkan motivasi, minat, dan kesenangan dan bertindak sebagai persuasi nonverbal yang mendorong penyesuaian sosial; (d) improvisasi, memberikan peluang untuk melahirkan kreativitas sebagai ekspresi perasaan. Hal ini akan membantu terapis untuk mempertahankan ikatan kepercayaan dengan klien dan memberikan layanan pengukuran yang bermanfaat; (e) mencipta, digunakan untuk mengembangkan belajar bekerjasama dan mendorong berbagi perasaan, ide-ide, dan pengalaman. Bagi orang dengan pengakit parah, ini adalah cara untuk menguji perasaannya tentang arti hidup dan mati, ketika menciptakan sesuatu yang berharga untuk ditinggalkan bagi orang yang dicintai. Lagu yang menyembuhkan, yang ditulis untuk dan oleh klien, dapat memfasilitasi saat yang menakutkan dari kesadaran diri atau katarsis; (f) mendengarkan musik mempunyai banyak penerapan terapeutik. Dapat membantu mengembangkan kemampuan kognitif seperti perhatian dan memori. Hal ini mendorong proses untuk keluar dari kesulitan tertentu lewat menciptakan lingkungan yang kreatif untuk mengekspresikan diri. Musik membangkitkan memori dan asosiasi. Mendengarkan musik secara aktif dalam keadaan yang tenang dan rileks akan menstimulasi pikiran, imaginasi, dan perasaan yang dapat di uji lebih lanjut dan didiskusikan dengan terapis saja atau dengan kelompok yang mendukung.

2. ART THERAPY
Lewis (dalam Silver dan Ellison, 1995) menyebutkan bahwa penerapan terapi secara verbal kurang efektif bila dibandingkan dengan terapi yang secara terstruktur melibatkan lingkungan pergaulan dan memiliki program modifikasi perilaku yang jelas. Penelitian lain menunjukkan bahwa anak yang memiliki gangguan perilaku lebih bersifat kinestetik daripada verbal dan banyak yang kurang mampu dalam bahasa (Silver dan Ellison, 1995). Untuk itu, agar keberhasilan proses terapi meningkat, Shirley Riley dalam bukunya Contemporary Art Therapy with Adolescense menegaskan bahwa kualitas yang perlu diperhatikan dalam memilih alternatif konseling dan terapi adalah menemukan metode yang dapat diterima klien.
Salah satu alternatif yang ditawarkan oleh banyak ahli psikologi dan psikiatri adalah aktivitas seni (art therapy atau expressive therapy). Dalam tulisannya yang berjudul Re-education Through the Creative Arts, Juul dan Schuler (1983) menjelaskan bahwa aktivitas seni dapat meningkatkan perkembangan normal anak serta mengatasi gangguan perilaku pada anak dan remaja akibat terganggunya emosi dan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Anderson (dalam Juul dan Schuler, 1983) menambahkan bahwa keseluruhan bentuk seni memiliki nilai intrinsik yang mendorong anak untuk berkreasi. Seni juga dapat meningkatkan ketrampilan komunikasi dan kerja sama, membangun konsep diri yang positif serta dapat membantu meningkatkan ketrampilan akademik. Pendapat ini dipertegas oleh The American Art Therapy Association (2003) yang mengatakan bahwa art therapy banyak digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik emosional, meningkatkan kesadaran diri, mengembangkan ketrampilan sosial, mengontrol perilaku, menyelesaikan permasalahan, mengurangi kecemasan, mengarahkan realitas, dan menambah self esteem atau harga diri.
Istilah art therapy terdiri dari dua kata yaitu kata art dan therapy. Art menunjukkan makna keaslian, invidualitas, proses kreatif, spontanitas, penggunaan warna, tekstur, bahan-bahan grafis, dan imajinasi, sedangkan therapy menunjukkan suatu kepedulian, proses mendengar, penyembuhan, proses bergerak ke arah keutuhan, perubahan dan perkembangan serta menekankan pada pemahaman manusia (Fleshman dan Fryrear, 1981).
Istilah art therapy terkadang digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk terapi seni atau terapi ekspresif secara umum (Juul dan Schuler, 1983; Jarboe, 2004) namun lebih sering digunakan untuk menunjukkan bentuk terapi kreatif yang bersifat seni visual atau melukis/menggambar (Ballou, 1995; Glaister, 2000; Jarboe, 2004; Dubowski, 1994; American Art Therapy Association, 2003). Ballou (1995) menyebutkan bahwa art therapy merupakan salah satu bentuk dari beberapa jenis expressive therapy (terapi ekspresif). Terapi ekspresif adalah suatu proses terapeutik yang menggunakan intervensi nonverbal dan modalitas dansa/gerakan, gambar/lukisan, dan musik sebagai media untuk berekspresi. Terapi ekspresif ini disebut juga sebagai terapi kreatif atau terapi aktivitas. Melalui aktivitas terapeutik ini, individu mendapat kesempatan untuk mengetahui dan mengatasi kebiasaan atau perilaku yang maladaptif yang dapat menimbulkan konflik intrapersonal dan atau interpersonal. Proses terapeutik yang menggunakan aktivitas menggambar sebagai modalitas utama sering disebut visual art therapy atau art therapy saja. Sejalan dengan pendapat Ballou ini, Glaister (2000) menyebutkan bahwa art therapy merupakan suatu proses penyembuhan yang menggunakan gambar atau lukisan sebagai media untuk melakukan identifikasi, mengeksplorasi serta mengubah konsep diri, perasaan dan perilaku individu.
Sebagaimana bentuk terapi ekspresif lainnya, art therapy melibatkan individu dalam aktivitas yang akan meningkatkan kreativitas dan partisipasinya. Melalui terapi ini, individu dapat mengekspresikan dan menginterpretasi emosinya dengan cara yang berbeda dari terapi tradisional. Tujuan terapi ini lebih menekankan pada kebebasan berkomunikasi daripada menghasilkan bentuk yang artistik (Ballou, 1995) dan dalam pelaksanaanya menerapkan berbagai model dan konsep psikologi seperti psikodinamika, kognitif, pendidikan dan bentuk terapeutik lainnya.
a. Prosedur pelaksanaan dan teknik art therapy
Menurut Ballou (1995), tidak ada prosedur khusus dalam art therapy, namun secara khusus terdiri dari tiga tahap. Pertama, klien fokus pada sebuah peristiwa atau perasaan. Pada tahap ini, terapis menjelaskan tentang topik yang berhubungan dengan suatu peristiwa atau perasaan kemudian meminta klien untuk memikirkan atau merasakannya. Kedua, klien membuat sebuah image yang merepresentasikan peristiwa atau perasaan tersebut. Pada tahap ini, terapis perlu memberikan reinforcement atas usaha klien dan mengobservasi bagaimana cara mereka menyelesaikan lukisannya. Tahap ketiga, terapis memperhatikan arti kreasi klien dengan memperhatikan emosi gambar, warna, proporsi, dan bentuk desain secara keseluruhan serta asosiasi verbal klien. Pada tahap ini, terapis perlu menggali lebih lanjut tentang simbol dan image yang ada maupun yang tidak ada dalam kreasi klien.
Klien dan terapis kemudian memproses hasil kreasi tersebut secara verbal dan mengunakannya untuk membantu klien menyadari dan memahami dirinya. Dalam pelaksanaannya, secara umum ada 2 teknik yang dikembangkan dan dapat diterapkan untuk semua jenis klien, termasuk anak yang mengalami gangguan perilaku, yaitu teknik terstruktur dan teknik tidak terstruktur. Pada teknik terstruktur, klien diminta untuk menggambar image yang telah ditentukan yang kemudian diinterpretasi berdasarkan kriteria tertentu seperti penggunaan warna, penggambaran bentuk, pemberian bayangan, dan sebagainya. Contohnya adalah Human Figure Drawing Test, Kinetic Family Drawing dan House, Tree, Person. Pada teknik tidak terstruktur, subjek diberikan kebebasan berekspresi sepenuhnya dan interpretasi gambar tidak berdasarkan kriteria-kriteria baku. Contoh yang paling terkenal adalah Teknik Mandala yang didasarkan pada teori Jung tentang integritas kepribadian (Feder dan Feder dalam Ballou, 1995).
Sebagaimana intervensi lainnya, art therapy dapat diberikan dalam jangka panjang ataupun secara intensif (jangka pendek). Menurut Tyndall-Lind dan Landreth (2001) pemberian terapi jangka pendek (intensive short term therapy) selama 9 – 24 jam (dalam 6 – 12 pertemuan) cukup efektif untuk membantu gangguan perilaku anak.
Penerapan art therapy dilakukan dengan menggabungkan berbagai model asesmen dan treatmen termasuk psikodinamika, kognitif, perilaku, dan bentuk terapeutik lainnya (American Art Therapy Association, 2003). Seperti terapi lainnya, art therapy juga dapat diberikan secara individual maupun secara kelompok sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik klien. Pemberian secara individual umumnya dilakukan pada klien yang mengalami gangguan emosional karena trauma, sedangkan pemberian secara kelompok terutama dilakukan pada anak-anak yang memiliki permasalahan penyesuaian diri seperti pada anak yang mengalami gangguan perilaku. Menurut Yalom (dalam Tyndall-Lind dan Landreth, 2001), bukti empirik selama lebih dari dua puluh lima tahun membuktikan bahwa penggunaan terapi kelompok pada anak-anak memiliki 10 sifat kuratif yaitu : (a) pemberi informasi; (b) menumbuhkan harapan, yang membantu anak untuk merasa memiliki kendali atas hidupnya; (c) keseragaman (universality), yang membantu anak menyadari bahwa ada anak lain yang mengalami hal yang sama dengannya; (d) menumbuhkan sifat mementingkan orang lain (altruism), dimana anak mendapat kesempatan untuk memberi dan menerima, (e) memperbaiki hubungan keluarga, karena melalui sistem kelompok anak belajar bagaimana hubungan dan dinamika keluarga; (f) mengembangkan kemampuan bersosialisasi; (g) anak dapat meniru perilaku positif dari figur terapis; (h) anak dapat belajar tentang hubungan interpersonal; (i) membentuk kepa duan (cohesiveness) kelompok; dan (j) menjadi media katarsis.
b. Aplikasi Art Therapy
Tujuan utama terapi ini bukanlah untuk menghasilkan produk yang artistik, tetapi memberi kesempatan kepada klien untuk bebas mengkomunikasikan dan mengekspresikan dirinya guna membantu penyembuhan dan pengembangan dirinya. Dalam pelaksanaannya, proses art therapy menggabungkan berbagai konsep psikologi seperti psikodinamika, humanistik, kognitif, dan sebagainya. Art therapy digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik emosional, meningkatkan kesadaran diri, mengembangkan ketrampilan sosial, mengontrol perilaku, menyelesaikan permasalahan, mengurangi kecemasan, mengarahkan realitas dan menambah self esteem atau harga diri (American Art Therapy Association , 2003). Dalam art therapy, proses dan respon klien saat menggambar serta gambar/lukisan yang dihasilkan digunakan sebagai refleksi atas perkembangan, kemampuan, kepribadian, ketertarikan, perhatian, dan konflik individu (Ballou, 1995; American Art Therapy Association, 2003).
Beberapa tahun belakangan ini, aktivitas menggambar telah banyak dijadikan sarana dalam proses terapi terhadap anak-anak yang mengalami penganiayaan secara fisik dan seksual atau menjadi korban kejahatan rumah tangga, anak yang mengalami ganagguan emosional, anak yang berada dalam perawatan medis (Malchiodi, 2001) dan anak yang mengalami gangguan perilaku (Juul dan Schuler, 1983). Anak-anak yang mengalami gangguan perilaku kebanyakan lebih bersifat kinestetik daripada verbal dan banyak yang kurang mampu dalam bahasa, karena itu, gambar dapat membantu memahami bagaimana dinamika individu dan apa yang mereka butuhkan (Silver dan Ellison, 1995). Menurut Winnicott (dalam Malchiodi, 2001), gambar dapar berfungsi sebagai sarana komunikasi antara terapis dan anak yang dapat membuat anak aktif berpartisipasi dalam proses terapeutik. Gambar akan membantu anak mengekspresikan masalahnya dan pandangannya terhadap dunianya. Winnicott menegaskan bahwa gambar dapat menjadi sebuah katalisator yang akan meningkatkan interaksi dan efektivitas proses terapeutik antara terapis dan klien. Gross & Hayness (dalam Malchiodi,2001) melakukan percobaan tentang bagaimana pengaruh gambar dalam memfasilitasi laporan secara verbal pada anak. Mereka menemukan bahwa anak-anak yang diwawancarai ketika sambil menggambar memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan anak-anak yang hanya diminta bercerita. Mereka berasumsi bahwa hal ini terjadi karena menggambar dapat mengurangi kecemasan dan menolong anak merasa lebih nyaman dengan terapis, dapat meningkatkan pemanggilan kembali memori, dan dapat membantu anak mengorganisir ceritanya.
Pada anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, sering terdapat prasangka permusuhan sehingga sulit mempe rcayai orang lain. Melalui art therapy ini, anak dapat belajar mempercayai orang lain yang bukan pengasuh utamanya, dapat menggunakan proses menggambar sebagai media penenang, dan dapat membentuk kelekatan dengan terapis. Hal ini karena aktivitas menggambar dan lukisan yang dihasilkan dapat disamakan fungsinya dengan objek pengganti (transitional object). Objek pengganti biasanya berupa permainan favorit (seperti boneka) yang menjadi tempat atribusi karakteristik pengasuh utama yang digunakan anak untuk menenangkan hatinya saat berpisah dengan pengasuh atau ketika berada dalam situasi yang menimbulkan kecemasan (Winnicott dalam Jarboe, 2004). Penggunakan art therapy sebagai intervensi klinis yang utama bagi remaja yang nakal telah dikembangkan di Manhattan (Wolf dalam Juul dan Schuler, 1983). Program ini didasarkan pada teori yang menyatakan anak atau remaja yang nakal mengalami kekurangan kasih sayang dan hubungan maternal yang jelek. Perilaku merusak dan antisosial yang mereka lakukan sebenarnya merupakan usaha untuk mendapatkan respon dari lingkungan sehingga anak dapat mengalami hubungan yang hilang tersebut. Dengan setting terapeutik seperti art therapy ini, anak akan dapat mengekspresikan dan hidup melalui trauma yang dialaminya diawal kehidupan, sehingga kapasitas emosional dan penyesuaian sosialnya tidak lagi terhambat.
Bila didasarkan pada konsep Jung yang percaya bahwa manusia mewarisi ketidaksadaran dari leluhur yang temanya berbeda-beda pada setiap orang dan kurangnya rekonsiliasi beberapa tema ini menjadi dasar terganggunya emosi dan perilaku, maka, aktivitas kreatif seperti menggambar ini, khususnya dalam situasi kelompok yang saling mendukung, dapat membuat konflik tersebut menjadi disadari dan diterima individu (dalam Juul dan Schuler, 1983). Bettelheim (dalam Juul dan Schuler, 1983) menyebutkan bahwa self respect merupakan isu sentral semua gangguan fungsional, termasuk gangguan perilaku. Walau terlihat keras, namun sebenarnya anak yang mengalami gangguan perilaku memiliki self esteem (harga diri) yang rendah. Melalui proses terapeutik ini, menggambar akan memberikan rasa mampu pada individu serta memberi pengalaman puncak yang akan membawa individu pada perubahan yang positif (Bonny dan Savary dalam Juul dan Schuler, 1983).
Manning (dalam Johnson dan Chuck, 2001) menguji gambar yang dibuat oleh anak yang dianiaya dan anak yang berasal dari keluarga yang terlibat kejahatan. Ia menemukan bahwa tindakan agresi sering dilukiskan dalam ukuran figur yang besar, cuaca yang buruk, dan objek yang bergantung atau jatuh dikepala anak. Garis tebal juga sering ditemukan pada gambar yang menunjukkan usaha mereka untuk membuat garis batas antara dirinya dengan dunia luar. Salent (dalam Johnson dan Chuck, 2001) menjelaskan bahwa gambar anak yang pertama dalam proses terapi secara khusus mengilustrasikan permasalahannya. Misalnya anak yang agresif, pertama kali menggambar gunung berapi yang memuntahkan abu dan uap panas, secara simbolik gambar ini menunjukkan kemarahannya sendiri yang meledak-ledak.
Pada anak yang mengalami gangguan perilaku, teknik art therapy yang digunakan dapat bersifat terstruktur maupun tidak terstruktur atau kombinasi keduanya. Pada teknik terstruktur, proses terapi dimaksudkan sebagai media untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan tertentu sedangkan pada teknik tidak terstruktur, proses menggambar atau art therapy dimaksudkan sebagai media katarsis yang dengannya klien dapat bebas mengekspresikan perasaannya. Dengan mengkombinasikan kedua teknik ini, proses terapi tidak hanya menjadi media katarsis bagi anak tetapi juga menjadi media mempelajari ketrampilan-ketrampilan baru. Salah satu ketrampilan yang dapat dilatih dengan menggunakan art therapy ini adalah ketrampilan sosial, baik yang bersifat intrapersonal, interpersonal, maupun yang berhubungan dengan akademis. Penggunaan teknik terstruktur yang telah digunakan beberapa ahli art therapy untuk mengembangkan ketrampilan sosial anak antara lain adalah : teknik menggambar jembatan ( Thomas, 2002) yang dimaksudkan untuk mengajarkan anak menyusun langkah-langkah atau strategi tertentu untuk mencapai harapan dan keinginannya; teknik menggambar diri/orang (Human Figure Drawing Test) dan menggambar orang, pohon dan rumah (House-Tree-Person Test) yang dimaksudkan untuk melatih anak mengenali diri dan lingkungannya (Ballou, 1995), dan teknik menggambar emosi yang dirasakan serta situasi penyebabnya (Wallin dan Durr, 2005) yang dimaksudkan untuk melatih anak mengenali dan mengontrol emosinya.
Pada anak yang mengalami gangguan perilaku, pemberian ketrampilan mengenali diri dan lingkungan serta menyusun langkah mencapai keinginan ini membantu mengurangi prasangka permusuhan terhadap lingkungan dan mengurangi perilaku agresif sebagai strategi mencapai tujuan. Adapun pada teknik tidak terstruktur, anak diberi kebebasan untuk menggambar apa saja yang dimaksudkan untuk membantu anak bebas mengekspresikan perasaan dan konflik-konflik internal yang dialaminya. Menurut Johnson dan Chuck (2001) art therapy pada anak yang mengalami gangguan perilaku sebaiknya diberikan dalam bentuk kelompok (group therapy) karena kelompok akan menjadi media bagi anak untuk menurunkan emosi dan menyalurkan energi. Kelompok juga dapat membantu anak mengevaluasi perilakunya dan menjadi media bagi anak untuk mempraktekkan ketrampilan yang baru diperolehnya. Penerapan art therapy secara berkelompok pada siswa sekolah dasar oleh Wallin dan Duur (2002) menunjukkan bahwa ada peningkatan belajar sosial dan emosional pada anak yang memiliki masalah perilaku.

3. BIBLIOTHERAPY
Bibliotherapy adalah suatu terapi yang menggunakan aktivitas membaca pustaka yang telah diseleksi, yang disusun dan diterapkan sebagai suatu prosedur tritmen untuk tujuan-tujuan terapeutik (Sclabassi, dalam Herink, 1980). Bryan (dalam Herink, 1980) mendefinisikan bibliotherapy sebagai ‘peresepan’ (prescription) materi-materi bacaan yang akan membantu mengembangkan kematangan emosional, memelihara & menunjang kesehatan mental.
Menurut Hynes dan Hynes-Berry (1994), bibliotherapy menggunakan pustaka untuk menghasilkan suatu interaksi yang bersifat terapeutik antara partisipan dan fasilitator. Selain itu, mereka membedakan pendekatan atau pemikiran (schools of thought) mengenai bibliotherapy menjadi dua, yaitu reading bibliotherapy dan interactive bibliotherapy. Pada reading bibliotherapy, proses penyembuhan dititikberatkan pada aktivitas membaca itu sendiri, yaitu pada interaksi yang terjadi antara pembaca dengan materi bacaannya, dan tidak secara langsung melibatkan orang yang menyarankan materi tersebut (fasilitator). Pada tahun 1949, disertasi dari Caroline Shrodes semakin mengukuhkan pengertian bibliotherapy sebagai suatu proses yang dialami oleh individu dalam membaca buku yang secara khusus dipilih karena bermanfaat terapeutik bagi individu tersebut (Hynes dan Hynes-Berry, 1994). Jadi, penekanannya bukanlah hanya pada proses menyarankan buku-buku tertentu saja (prescribing books), melainkan pada bagaimana pembaca memanfaatkan isi dari buku tersebut.
Pada interactive bibliotherapy, proses penyembuhan difokuskan pada aktivitas membaca dan dialog terpimpin mengenai materi tersebut. Jadi, terdapat interaksi partisipan – pustaka – fasilitator, yang dapat dilihat melalui interaksi rangkap dua, yaitu respon pribadi partisipan terhadap materi bacaan merupakan hal yang penting, tetapi berdialog dengan fasilitator mengenai respon tersebut dapat mengarahkan pada suatu dimensi pemahaman yang benar-benar baru. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh definisi dari Rubin dan beberapa definisi terbaru mengenai bibliotherapy (dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994) bahwa terdapat suatu dimensi terapeutik yang signifikan pada dialog yang difasilitasi tentang perasaan dan respon individu terhadap pustaka.
a. Teknik bibliotherapy
Menurut Sclabassi (dalam Herink, 1980), tergantung pada tujuan dan tingkat intervensinya, terdapat dua macam teknik bibliotherapy:
1. Pustaka Didaktik
Pustaka didaktik pada umumnya bertujuan untuk memfasilitasi suatu perubahan dalam diri individu melalui suatu pemahaman diri yang lebih bersifat kognitif. Pustakanya bersifat instruksional dan edukasional, seperti buku pegangan (handbooks), dan dokumen. Topik-topik yang dimasukkan antara lain adalah mengenai pengasuhan anak, perkawinan dan seks, koping terhadap stres, relaksasi, dan meditasi dan lain sebagainya.
2. Pustaka Imajinatif
Pustaka imajinatif mengacu pada penggambaran perilaku manusia dalam suatu cara yang dramatik. Kategori ini meliputi novel-novel, cerpen-cerpen, dan permainan-permainan. Landasan teoretisnya adalah mempostulasikan suatu hubungan antara kepribadian dan pengalaman vicarious (yang seolah-olah dialami sendiri). Pembaca secara simultan terlibat dan terpisah dari cerita, seperti yang nyata dalam situasi vicarious.
Menurut Sclabassi (dalam Herink, 1980), bibliotherapy telah dianggap memadai baik sebagai suatu teknik utama maupun sebagai suatu tambahan untuk berbagai teknik terapeutik yang lain. Tidak ada metodologi eksplisit tertentu bagi pemilihan materi-materi bacaan yang tepat. Yang terpenting adalah terapis tidak hanya mengenali pasiennya, tetapi juga mengenali pustaka-pustaka yang akan digunakan.
Menurut Hynes dan Hynes-Berry (1994), materi-materi yang bersifat bibliotherapeutic dapat meliputi materi-materi yang bersifat imajinatif, didaktik, dan informasional. Puisi, permainan-permainan, cerita pendek, novel, essays, artikel majalah, dan bagian-bagian dari buku teks kesemuanya dapat digunakan baik dalam bentuk yang utuh maupun yang telah diringkas; demikian pula, bagian-bagian kecil dari materi-materi di atas dapat dikutip untuk digunakan. Menurut Sclabassi (dalam Herink, 1980), tidak ada patokan cara tertentu untuk menerapkan bibliotherapy dalam suatu tritmen. Misalnya, pustaka tertentu dapat direkomendasikan atau ‘diresepkan’ oleh terapis untuk aktivitas membaca antar sesi dan didiskusikan setelah itu, atau aktivitas membaca dapat dilakukan dalam suatu sesi kelompok dan berperan sebagai suatu batu loncatan untuk pengungkapan pribadi, atau terapis dapat membaca sebuah cerita sebagai suatu tambahan terhadap suatu sesi terapi bermain pada anak-anak.
Dahulu, bibliotherapy terutama diterapkan pada terapi individual (satu terapis, satu klien). Namun, sekarang bibliotherapy lebih umum diterapkan pada setting kelompok. Walaupun demikian, pokok yang harus diingat adalah bahwa proses dan tujuan bibliotherapeutic terutama berfungsi dalam kaitannya dengan individu-individu yang membentuk kelompok tersebut. Oleh karena itu, kepedulian utama dari fasilitator adalah lebih pada kebutuhan-kebutuhan dari partisipan sebagai individu-individu dibandingkan dengan kelompok sebagai suatu kesatuan (Hynes dan Hynes-Berry, 1994).
b. Populasi bibliotherapy
Menurut Hynes dan Hynes-Berry (1994), populasi bibliotherapy dapat dibedakan menjadidua, yaitu:
1. Clinical bibliotherapy
Clinical bibliotherapy merupakan salah satu dari beberapa terapi kreatif yang digunakan pada populasi-populasi dalam suatu program tritmen yang spesifik. Fasilitator dilatih untuk menggunakan suatu metodologi psikoterapeutik dengan pustaka yang berperan sebagai alat utama untuk menolong klien mencapai suatu kepribadian yang terintegrasi. Sasaran populasi yang termasuk dalam clinical bibliotherapy:
a). Orang-orang yang mengalami gangguan emosional. Klien-klien ini mencakup klien-klien yang berada di rumah sakit jiwa, yang akan kembali untuk memperoleh tritmen dan tindak lanjut, atau yang akan menerima tritmen profesional secara mandiri. Mereka mengenal bibliotherapy sebagai bagian dari rencana kontraktual mereka untuk terapi. Biasanya, kelompok-kelompok dibentuk berdasarkan populasi-populasi yang spesifik. Misalnya, satu kelompok akan dibatasi pada remaja-remaja yang menagalami gangguan emosional, kelompok yang lain pada pasien-pasien rumah sakit yang kronis, dan kelompok ketiga pada pasien-pasien yang juga menderita suatu cacat fisik seperti kebutaan atau ketulian.
b). Penghuni lembaga pemasyarakatan. Bibliotherapy dapat menjadi bagian dari suatu program lembaga pemasyarakatan atau disyaratkan sebagai bagian dari masa percobaan dan pembebasan bersyarat. Walaupun anggota-anggota dari populasi ini biasanya berpartisipasi di bawah perintah dan bukan secara sukarela, namun bibliotherapist biasanya tetap menekankan prinsip bahwa tidak seorang pun dapat dipaksa untuk mengungkapkan perasaan-perasaan dan pemahaman-pemahaman pribadinya. Penekanan dalam kelompok-kelompok lembaga pemasyarakatan adalah pada membantu partisipan untuk lebih mengenali dan mematuhi norma-norma masyarakat dan patokan-patokan perilaku. Namun, bibliotherapist seharusnya juga menyadari bahwa partisipan juga dapat menjadi tidak stabil secara emosional dan, pada kasus-kasus seperti itu, bibliotherapy juga membantu untuk penyembuhan psikologis.
c). Orang-orang yang mengalami ketergantungan zat. Kelompok-kelompok clinical bibliotherapy telah menjadi suatu elemen yang berhasil dari program-program rehabilitasi ketergantungan obat dan alkohol di rumah sakit (Mazza; Gladding; Schecter, dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994). Partisipan dalam tritmen untuk ketergantungan biasanya secara intens terlibat dalam evaluasi diri dan cenderung berespon secara efektif terhadap penggunaan materi yang bersifat imajinatif dan informasional sebagai suatu stimulus untuk menggali pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan mereka.
2. Developmental bibliotherapy
Developmental bibliotherapy berkembang dari pengetahuan bahwa kebutuhan untuk menghadapi perasaan-perasaan pribadi, meningkatkan kesadaran diri, serta meningkatkan harga diri tidak hanya terbatas pada pasien-pasien gangguan mental, kriminal, atau orang-orang yang mengalami ketergantungan zat. Pada umumnya, partisipan dalam developmental bibliotherapy secara spesifik memilih terapi ini untuk lebih memahami diri sendiri. Developmental bibliotherapy biasanya dilaksanakan dalam kelompok-kelompok yang telah dibentuk dan bertemu dalam konteks suatu sekolah, pusat komunitas, perpustakaan, dan gereja. Teknik-teknik dasar yang digunakan untuk memfasilitasi kelompok-kelompok tersebut adalah sama seperti yang digunakan dalam clinical bibliotherapy, tetapi kedalaman dari penggalian terapeutiknya berbeda. Pada saat yang sama, bibliotherapist sering memainkan peran yang kurang aktif dalam fase diskusi daripada yang dibutuhkan dalam kelompok-kelompok clinical. Beberapa populasi yang tergolong dalam kelompok-kelompok developmental antara lain:
a. Remaja dan anak-anak. Pustaka mengenai developmental bibliotherapy dipenuhi dengan referensi-referensi tentang program-program yang dirancang untuk kaum muda. Schultheis (dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994) adalah seorang spesialis membaca yang menggunakan aktivitas membaca dan diskusi yang berorientasi bibliotherapeutic untuk membantu meningkatkan harga diri diantara mereka yang membutuhkan bantuan membaca secara khusus. Zaccaria dkk.; Baruth dan Phillips; serta Benninger dan Belli (dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994) memprofilkan cara-cara yang digunakan oleh para konselor yang telah menggunakan bibliotherapy untuk membantu anak-anak dengan masalah-masalah perilaku. Apapun konteksnya, bibliotherapists yang bekerja dengan anak-anak dan remaja seharusnya memperjelas bahwa tujuan-tujuan bibliotherapy adalah berbeda dengan tujuan-tujuan dari kelas tradisional atau kelompok membaca. Dalam bibliotherapy, pustaka pada umumnya digunakan sebagai suatu alat untuk membantu orang-orang muda mengatasi isyu-isyu yang sangat kritis pada tahap ini, yaitu identitas diri, kemandirian, dan makna diri.
b. Orang-orang dewasa lanjut. Kelompok-kelompok developmental untuk orang-orang dewasa lanjut dapat diorganisir melalui suatu pusat komunitas, perpustakaan, gereja, atau panti jompo (retirement home). Fasilitator seharusnya memahami bahwa karena usia merupakan kriteria utama, populasi ini dapat menjadi sangat beragam. Tidak saja anggota-anggota dari suatu kelompok sering berasal dari latar belakang yang cukup berbeda, namun mereka juga bervariasi baik dalam hal kebutuhan maupun kemampuan untuk mengatasi isyu-isyu seperti menghadapi kehilangan yang bersifat pribadi dan kematian, menyesuaikan diri dengan perubahan peran yang penting, atau semakin menurunnya kesehatan fisik.
c. Kelompok-kelompok pendukung. Kelompok-kelompok developmental ini dibentuk melalui klinik-klinik bimbingan atau pusat-pusat bimbingan vokasional sebagai bagian dari suatu program pendukung institusional bagi pegawai. Kelompok-kelompok puisi dan doa dapat bekerja secara spesifik dalam memperkuat kehidupan spiritual mereka. Dengan cara yang sama, suatu pertemuan Orang Tua Tunggal dan suatu program bagi para perempuan korban kekerasan dapat menawarkan sesi-sesi bibliotherapy untuk membantu para anggotanya menghadapi kenyataan-kenyataan emosional yang terkait dengan kesulitan-kesulitan spesifik mereka.
d. Orang-orang yang cacat. Orang-orang yang buta, tuli, lumpuh, atau menderita penyakit yang kronis dapat memperoleh manfaat dari bibliotherapy. Dalam kasus-kasus seperti itu, anggota-anggota dari suatu kelompok developmental bibliotherapy dapat bertemu sebagai bagian dari suatu program rehabilitasi atau perawatan kronis atau dalam setting komunitas.
e. Pasien-pasien yang sekarat. Program-program hospice menangani kebutuhan-kebutuhan emosional dan fisik dari pasien-pasien dengan penyakit terminal dan orang-orang yang mereka cintai (Butterfield-Picard, dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994). Bibliotherapy dapat menawarkan kepada pasien dan keluarga mereka suatu cara yang berarti untuk menghadapi isyu-isyu dan perasaan-perasaan yang kuat yang ditimbulkan oleh penyakit yang serius, secara spesifik, dengan menggunakan pustaka sebagai suatu konteks untuk mendiskusikan konsep-konsep dan perasaan-perasaan yang mungkin cukup sukar bagi pasien dan anggota keluarganya untuk dikemukakan.
Bibliotherapist harus peka terhadap kebutuhan-kebutuhan khusus dari pasien sekarat serta fleksibel dalam berhubungan dengan mereka. Lamanya waktu baik bagi pasien maupun anggota keluarganya untuk dapat mengikuti suatu sesi bibliotherapy akan bervariasi pada masing-masing individu dan hampir pasti akan berubah sehubungan dengan penyakitnya. Selain itu, pasien-pasien yang sekarat dan keluarga mereka cenderung untuk memiliki agenda-agenda yang cukup berbeda. Oleh karena itu, fasilitator harus berhati-hati dalam mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan dari semua yang terlibat dalam menentukan kapan untuk bekerja secara individual dengan pasien, kapan untuk bertemu secara terpisah dengan anggota-anggota keluarga, dan kapan suatu sesi bersama mungkin dapat membantu semuanya untuk mencapai beberapa resolusi hubungan sebelum kematian.
f. Langganan perpustakaan publik. Para partisipan yang bergabung dalam suatu kelompok developmental yang ditawarkan melalui perpustakaan publik pada umumnya memiliki ketertarikan dalam menggunakan pustaka untuk memperkaya kehidupan mereka dan untuk memperluas pandangan mereka tentang diri mereka sendiri, orang lain, dan dunia.
c. Aplikasi bibliotherapy
Menurut Sclabassi (dalam Herink, 1980), tingkatan-tingkatan intervensi dari bibliotherapy dapat dibagi menjadi empat area:
1. Intelektual
Bibliotherapy digunakan untuk menstimulasi individu untuk berpikir dan menganalisis sikap-sikap dan perilaku-perilaku antar sesi dan memungkinkan individu untuk menyadari bahwa terdapat berbagai pilihan dalam menangani masalah. Individu mungkin akan mendapatkan fakta-fakta yang diperlukan untuk pemecahan masalah, mendapatkan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk membantu memahami dirinya sendiri, dan memperoleh pemahaman intelektual. Selain itu, bibliotherapy juga dapat memperluas bidang minat individu. b. Sosial
Bibliotherapy dapat digunakan untuk memperbesar kesadaran individu di luar kerangka berpikirnya sendiri dan meningkatkan kepekaan sosial dengan berada (dalam imajinasi) di posisi orang lain. Bibliotherapy dapat digunakan untuk memperkuat pola-pola sosial dan kultural, menyerap nilai-nilai kemanusiaan, dan memberikan suatu perasaan memiliki. Selain itu, bibliotherapy juga membantu menghubungkan ekspresi-ekspresi emosi dan impuls yang tidak dapat diterima secara sosial dan memfasilitasi pembaca untuk membentuk tujuan-tujuan hidup yang memuaskan dan kemudian hidup secara lebih efektif.
2. Perilaku
Bibliotherapy dapat memberikan sumbangan pada kompetensi dalam melakukan aktivitas, memberi individu suatu kesempatan untuk bereksperimen secara imajinatif dengan berbagai modus perilaku dan membayangkan efek-efek yang mungkin. Bibliotherapy juga membantu untuk menghambat perilaku infantil, mempromosikan pertumbuhan dalam pola-pola reaksi, dan mengembangkan prinsip-prinsip yang bermanfaat untuk bertindak.
3. Emosional
Bibliotherapy dapat menyediakan suatu pengalaman vicarious tanpa sebelumnya menunjukkan kepada individu risiko-risiko dari pengalaman aktual. Pembaca dapat memperoleh keyakinan dalam membicarakan tentang masalah-masalahnya yang biasanya sukar untuk didiskusikan karena perasaan-perasaan takut, malu, atau bersalah. Bibliotherapy ini akan mendukung diskusi tanpa diawali rasa malu akan pembukaan rahasia diri secara eksplisit. Bibliotherapy memungkinkan pembaca untuk membawa perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman di bawah permukaan pada kesadaran dan mengembangkan pemahaman emosional. Bibliotherapy dapat memberikan solusi yang berhasil terhadap masalah-masalah yang serupa pada orang lain, sehingga menstimulasi keinginan untuk menyelesaikan masalah-masalah individu sendiri. Bibliotherapy juga dapat membantu individu untuk memahami motivasi-motivasi diri sendiri dan orang lain dalam situasi tertentu.

4. Psikodrama
Psikodrama merupakan salah satu pendekatan dalam psikoterapi kelompok yang didasari oleh alasan teoritik, bahwa latihan berpikir dan bertindak dengan cara yang baru sangat berguna agar mampu keluar dari permasalahan yang dihadapi individu (Treadweel dan Kumar, 2002). Psikodrama merupakan metode aksi yang menekankan pada proses serta penemuan insight melalui penggunaan interaksi sosial antar anggota kelompok dan pemeranan. Orientasi psikodrama lebih ditekankan pada masalah individu pada saat ini dan di sini atau dalam konsep kekinian, serta menemukan pemecahan masalah yang efektif bagi permasalahan yang dihadapi tersebut.
Sejak ditelurkannya pertama kali oleh J.L. Moreno pada tahun 1912 sebagai dic stegreuftheater (drama spontanitas), psikodrama telah menarik perhatian para praktisi profesional dan klinisi sebagai sebuah metode terapi baru yang bersumber dari  terapi kelompok yang dikemas dalam bentuk drama, sehingga proses berlangsungnya terapipun akan berjalan lebih menarik dan berkesan bagi para klien yang melakukannya, karena selain terjadi interaksi sosial dari sesama anggota tetapi juga terjadi pertukaran aksi dari masing-masing individu dalam pola berpikir dan bertindak yang sama sekali baru.
J. L. Moreno sendiri mendefinisikan psikodrama sebagai ilmu pengetahuan yang mengeksplorasi kebenaran melalui metode drama. Salah satu tujuannya adalah untuk mengajarkan orang-orang menyelesaikan permasalahan mereka pada kehidupan dunia yang kecil (kelompok), bebas dari batasan-batasan konvensional dengan mengekspresikan permasalahan, ambisi, impian, dan ketakutan mereka. Metode ini menekankan keterlibatan maksimal dengan orang lain ketika menginvestigasikan permasalahan pada masa sekarang, sebagai tambahan berhubungan dengan memori awal dan persepsi atau pandangan seseorang. Jadi pada hakekatnya psikodrama merupakan proses sandiwara (dengan berpura-pura) serta proses pertunjukan yang dikemas menjadi sebuah drama yang bermakna. Syarat utamanya adalah kreativitas dan spontanitas dari masing-masing personil yang terlibat. Sehingga jika sebuah adegan telah disetujui oleh sutradara dan anggota kelompok serta pemeran utama telah terpilih, kemudian setting telah dideskripsikan dalam komunikasi verbal, maka pertunjukan dimulai. Kemudian pelaku utama distimulus untuk melakukan tindakan (berbicara sesuai dengan masa kini ketika menunjuk kejadian masa lalu). Sutradara mencari dan menemukan siapa saja yang penting bagi kehidupan seseorang yang akan ditampilkan pada adegan (contohnya orang tua, saudara kandung, dan lain sebagainya) dan akan meminta tokoh utama memilih anggota lain yang dapat memainkan ego-ego tambahan (karakter) tersebut. Batas umur dan jenis kelamin tidak begitu diperhatikan, pemilihan individu yang akan memainkan peran tertentu dilihat pada faktor kesulitan dan kerumitan.
Psikodrama merupakan suatu konsep dari kombinasi antara pengetahuan dan seni, karena untuk menjadi seorang ahli psikodrama atau (sutradara / terapis) dituntut untuk mampu memberikan perubahan berupa imaginasi, keingintahuan, bermain secara penuh, melucu, empati, keberanian, pengetahuan, kematangan dalam penguasaan metode, serta memiliki syarat-syarat: (1) punya penampilan yang optimistik dan afirmatif terhadap kelompok yang potensial. (2) mampu memotivasi kreativitas dan memilikinya serta memprovokasi spontanitas. (3) percaya diri dan yakin bahwa sesuatu yang positif akan terjadi. (4) menciptakan suasana atau atmosfir yang berpotensi magis. (5) memiliki kepekaan terhadap situasi dan kondisi yang tidak diketahui, tidak ternyatakan, dan tidak terlahirkan dalam aksi psikodrama. (6) harus memiliki rasa bermain drama yang sejati, menyenangkan, segar dan humoris. (7) harus punya kemampuan untuk mengambil resiko, mendorong (membesarkan hati), menstimulasi dan mempengaruhi klien..
a. Elemen Pendukung dan Tahapan Terapi
Berbagai macam gangguan dan masalah yang dihadapi individu di klaim mampu diterapi demngan menggunakan metode ini, hal ini tidak lepas dari adanya kombinasi yang kuat dari dua faktor, yaitu inspiration and technique. Inspiration adalah proses untuk kreativitas dan spontanitas yang memungkinkan individu menciptakan sesuatu yang baru. Seseorang yang terinspirasi telah dimasuki dan antusias oleh perasaan dan pemikiran orang lain. Ketika terinspirasi, rasanya seperti menghirup udara baru. Untuk memulai aksi sebuah drama, diperlukan adanya lima elemen dasar yang menjadi modal utama berlangsungnya psikodrama, yaitu:
1)       Pemeran utama (Protagonist), pemeran utama akan menjadi fokus dalam psikodrama, yang juga menjadi anggota kelompok untuk mengeksplorasi masalah-masalah pribadi mereka dalam sesi terapi.
2)       Sutradara atau Terapis (Director), adalah orang yang memberi petunjuk dan memfasilitasi berbagai aksi drama.
3)       Pembantu aksi (The Auxiliary Egos), adalah anggota kelompok (atau asisten terapis) yang bermain sebagai orang penting dalam kehidupan klien, yang membantu dalam aksi drama.
4)       Penonton (The Audience), terdiri dari anggta kelompok yang secara tidak langsung terlibat dalam permainan. Berperan secara langsung maupun tidak dalam drama, mengingatkan secara aktif dan positif serta terlibat dalam proses aksi.
5)       Panggung (the Stage), panggung sifatnya sangat fleksibel, secara sederhana maupun kompleks. Bahkan dapat juga dideskripsikan dengan verbal tentang keadaan pendukung pentas dalam sebuah ruangan, seperti televisi, mobil dan lain sebagainya.
Kelima elemen dasar tersebut merupakan prasyarat wajib yang harus ada dalam proses psikodrama. Jika kelima hal tersebut telah terpenuhi, maka hal lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah tahapan proses berlangsungnya aksi dari psikodrama. Adapun tahapan yang harus dilewati meliputi di bawah ini:
1)       Warm-up (Pemanasan), pemanasan dilakukan untuk merangsnag kreativitas dan spontanitas dari anggota kelompok. Psikodrama seharusnya dipandang sebagai proses dimana secara individu (anggota kelompok dan sutradara) yang mendorong untuk mengembangkan dan menggunakan potenmsinya sendiri untuk berkreasi secara kreatif dan spontan.
2)       Enactment (Pemeranan), dilakukan untuk memudahkan interaksi dalam kelompok, meingkatkan rasa percaya dan keanggotaan melalui teknik yang mendorong interaksi antara individu (misalnya, membagi nama, pengalaman, aktivitas fisik yang melibatkan bebrapa sentuhan atau komunikasi nonverbal). Proses pemanasan ini dapat meningkatkan kepaduan dari kelompok, sementara pada waktu yang sama memberikan anggota untuk mendapat beberapa rasa kuat dan kualitas yang bervariasi dari individu dalam kelompok. Fase ini memiliki banyak kesamaan dengan proses yang dapat diamati di dalam menghadapi kelompok atau sesi drama terapi, atau sebagai pemanasan dalam berbagai kehidupan sehari-hari.
3)       Sharing, sharing dilakukan untuk membantu anggota fokus pada masalah-masalah pribadi yang diharapkan melakukan beberapa pekerjaan dalam sesi psikodrama. Ini harapan seseorang atau banyak orang yang muncul dari protagonis (kebutuhan individu) terpusat, proses pemanasan dan meletakkan diri mereka untuk menjadi fokus dari enactment (pemeranan).
b. Teknik yang Digunakan
Dalam psikodrama klasik sedikitnya ada lima teknik penting yang sering digunakan, antara lain:
1. Role reversal (pemutaran peran)
Tokoh utama memainkan peran lainnya dan pemeran pembatu memainkan tokoh utama secara bergantian. Pemutaran peran ini mempunyai beberapa manfaat pada proses psikodramatis, yaitu anggota lain dalam kelomok tersebut boleh mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai padangan tokoh utama terhadap orang-orang penting dalam kehidupan mereka melalui dramtisasi mereka pada individu tersebut. Tokoh utama dapat merasakan dunia dari pandangan orang lain dan dengan posisi ini tokoh utama menerima umpan balik dari pemeranan tokoh pembantu yang telah memainkan perannya. Pengalaman ini dapat begitu berpengaruh, bermanfaat dan sebagai terapi. Pemutaran peran juga digunakan untuk mendorong tokoh utama mengembangkan kontrol diri dimana tokoh utama harus mengalami perasaan, pandangan objektif, semangat dan mungkin kejam terhadap orang lain.
2. Doubling (penggandaan)
Adalah suatu cara dimana tokoh utama digabungkan dengan anggota lain pada kelompok tersebut, yang menjadi anggota aktif pada proses pertunjukan. Duduk berdekatan dengan tokoh utama dan melakukan gerakan-gerakan fisik yang sama. Peran ganda berfungsi sebagai pendukung dalam menunjukkan posisi dan kondisi perasaan dari tokoh utama yang sedang memainkan psikodrama tersebut. Ketika diungkapkan pikiran dan perasaannya tersebut mungkin diterima oleh tokoh utama atau pada saat ia akan memfrasekan ketidaksukaannya dengan menggunakan bahasanya sendiri atau menolaknya karena tidak sesuai. Situasi tersebut akan membantu tokoh utama menyusun komentarnya kembali, seperti pernyataan “bukan, bukan itu, sebenarnya.................”. sehingga tokoh utama dapat mengembangkan pengetahuan dirinya. Selebihnya dengan perjalanan waktu, tokoh utama akan menemukan bahwa pernyataan ganda tersebut lebih sesuai daripada pernyataan yang diungkapkan dengan menggunakan pikiran awal.
3. Surplus reality (kenyataan surplus)
Pemaknaan dilakukan berulangkali ketika adegan dan kejadian dimainkan. Jadi teknik ini akan enggambarkan bahwa sesuatu yang tidak pernah terjadi, tidak akan pernah terjadi. Kemampuan untuk melakukan adegan ini merupakan gabungan perasaan takut, emosi, fantasi dan harapan yang menjadi salah satui kekuatan magis dari proses psikodramatis. Adegan mengenai pernah mengalami kenyataan surplus merupakan salah satu cara terapi yang unik pada psikodrama.
4. Mirroring (pencerminan)
Suatu proses dimana tokoh utama digantikan oleh anggota lain pada drama tersebut, yang memperbolehkan tokoh tersebut berdiri berdampingan dan melihat drama atau adegan secara luas dan jelas. Hal ini mendorong kepekaan protagonist menjadi lebih objektif ketika berinteraksi dengan orang lain.
5. Closure / completion (penutupan / penyelesaian)
Proses dimana pertunjukan dramatis dari permasalahan tokoh utama serta situasi kehiduapannya diambil secara utuh. Rancangan sesi psikodrama seringkali dimulai dengan permasalahan masa sekarang, kemudian berlanjut pada pengalaman tokoh utama di masa sebulumnya. Ketika drama tersebut berlanjut, adegan dari masa lalu ditampilkan kembali ke masa kanak-kanak. Pada tahap-tahap psikodrama, proses tersebut dilakukan secara berulang, antara saat ini dnegan masa lalu. Tetapi dengan versi yang disampaikan oleh pengalaman emosional dan kognitif dari psikodrama. Sebagai contoh, seorang pria yang memulai psikodramanya dengan membahas secara terus menerus dengan pekerjaannya. Kemungkinan pada proses pertunjukan mengalami kesulitan dengan ayahnya. Pada bagian penutup atau penyelesaian dari psikodrama, ia akan mengulang kembali adegan-adegan dengan pekerja tersebut, untungnya mengelola kenyataan tersebut dengan cara yang berbeda melalui pemahaman yang ditingkatkan dan pengalaman tentang hubungan yang tidak harmonis dengan ayahnya (pada masa lalu) dan dengan pekerjaannya (pada masa sekarang).
Sedangkan psikodrama yang modern, teknik yang digunakan banyak sekali, sehingga butuh ruang untuk menjelaskannya satu persatu. Menurut Blatner (2000) teknik-teknik yang biasa digunakan dalam psikodrama modern, diantaranya adalah warm-up, advice giving, amplification, behind the back, breaking in, coaching, cutting the action, dance and movement, de-roling, directed dialogue. Double, ego building, emty chair, future projection, goodbye scenes, idealization, identity, jugment scene, letter, magic shop, mirroring, monodrama, non-verbal techniques, personification, photograph warm-up, puppets, remote control, replay, role presentation, shared secrets, silent auxiliary, soliloquy, substitute role, symbolic distance, telephone, touching, dan voluntary double. Sedangkan menurut Kipper dan Hundal (2003) teknik psikodrama modern yang digunakan, antara lain role playing, empty chair, mirroring, role reversal, double, jugjement, surplus reality, past projection, fantasy play, auxiliary ego, future projection, alter ego, age reggression, hot seat, letter writing, magic shop dan pillow.
c. Aplikasi Psikodrama
Tujuan utama dari psikodrama adalah untuk memberikan intervensi kepada individu agar dapat keluar dari masalah yang dihadapinya. Intervensi itu sendiri merupakan campur tangan terapis atau sutradara dalam membantu individu menemukan insight (pencerahan) sebagai jalan keluar dari permasalahannya. Di samping itu, menurut Munir (2004) dengan metode psikodrama ini, individu yang diterapi akan mampu mengembangkan pribadinya secara lebih baik. Dimensi perkembangan pribadi yang dapat dicapai antara lain:
1)       Self awarness, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran diri yang ada kaitannya dengan klarifikasi perasaan, tujuan, kekuatan, kelemahan, kebutuhan dan rasa takut.
2)       Interpersonal skills, berkaitan dengan peningkatan kapasitas kepercayaan, kemandirian, inisiatif, keterbukaan diri, dan ketegasan sikap. Individu juga dapat meningkatkan kesadaran tentang kelemahan orang lain, kebutuhan-kebutuhannya, ketakutannya, dan perbedaan temperamen dari orang lain. Mampu melakukan interaksi sosial dan komunikasi, dapat menyampaikan kapasitas dirinya secara jelas dan tepat. Serta mampu untuk mendengarkan, dan berempati tanpa distorsi.
3)       Value system, berkaitan dengan pandangan hidup positif khususnya tentang makna kematian, hidup, spiritual dan lebih rasional.
4)       Spontanitas, agar mampu bermain secara penuh, dapat berimprovisasi, berpartisipasi dalam seni, lagu, tari, drama dan humor.
5)       Sensory awakening, berkaitan dengan gerak tubuh, irama, perasan, keseimbangan, penggunaan sentuhan & sensualitas
6)       Imagination, berkaitan dengan pengelolaan kemampuan menggunakan asosiasi, mimpi, simbol, gambar, petunjuk fantasi, intuisi, dan mampu bercerita tentang kondisi dirinya sendiri.