MEDIA PSIKOTERAPI
Oleh : Dewi Purwati
TERAPI MUSIK
Asal kata musik bersumber dari kata “muse”
yang diadaptasi ke dalam Bahasa Inggris menjadi “music” yang mengandung makna “bentuk renungan”. Musik lahir dari
kecintaan manusia pada kehidupan dan dilandasi oleh ingatan manusia akan
pengalaman-pengalaman hidup yang telah dialami (Campbell, 1997). Musik
merupakan hasil teknologi media audio yang mengandalkan fungsi indera
pendengaran sebagai penangkap musik bagi manusia. Mendengar menurut Campbell
(1997) adalah kemampuan untuk menerima informasi auditif melalui telinga, kulit
dan tulang-belulang. Sedangkan, mendengarkan adalah kemampuan menyaring, memusatkan
perhatian secara selektif, mengingat, dan menanggapi bunyi. Jadi, mendengar
adalah tindakan pasif sedangkan mendengarkan adalah tindakan aktif. Seseorang
menangkap stimulus ritmis bunyi lewat indra pendengarannya, lalu stimulus
ritmis diteruskan ke sistem saraf di otak yang mereorganisasi interpretasi
bunyi ke dalam ritme internal pendengar. Interpretasi bunyi yang sesuai dengan
ritme internal pendengar akan mempengaruhi proses metabolisme tubuh menjadi
lebih baik. Metabolisme tubuh yang lebih baik akan meningkatkan sistem
kekebalan, dan dengan sistem kekebalan yang lebih baik maka tubuh menjadi lebih
tangguh terhadap kemungkinan serangan penyakit.
Kata “musik” dan “terapi musik”
digunakan untuk menjelaskan media yang digunakan secara khusus da;am rangkaian
terapi. Terpi musik adalah terapi yang bersifat nonverbal. Dengan bantuan
musik, pikiran klien dibiarkan untuk mengembara, baik mengenang hal-hal yang
membahagiakan, membayangkan ketakutan-ketakutan yang dirasakan, mengangankan
hal-hal yang diimpikan dan dicita-citakan, atau langsung mencoba menguraikan
permasalahan yang sedang dihadapi (Djohan, 2006: 24).
Menurut Darrow dkk (1985) media musik
sebagai bagian dari psikoterapi didasarkan pada delapan alasan, yaitu; (i) keberhasilan musik (sebagai
terapeutik) tidak tergantung pada pencapaian keahlian yang telah ditetapkan
sebelumnya, (ii) bahwa musik dapat merubah dan membangkitkan emosi, (iii) musik
dapat menstimulasi asosiasi diluar musikal, (iv) musik yang mestimulasi dan
menenangkan dapat mempunyai pengaruh yang berbeda pada individu yang berbeda,
(v) musik dapat mempengaruhi proses fisiologis, (vi) musik dapat melukai dalam
kondisi-kondisi tertentu, (vii) musik mempunyai penerapan terapeutik yang
variatif, (viii) musik dapat digunakan dalam preventif an kesehatan.
Berdasarkan hasil Simposium
Internasional Terapis Musik pada tahun 1982 menghasilkan formulasi bahwa terapi
musik memfasilitasi proses kreatif keluar dari kekosongan secara fisik,
emosional, mental, dan self-spiritual ke suatu area seperti kemandirian,
kebebasan untuk berubah, kemampuan menyesuaikan diri, keseimbangan dan
integritas pribadi. Penerapan terapi musik melibatkan interaksi terapis, klien
dan musik. Interaksi- interaksi ini akan merangsang dan mempertahankan proses
perubahan yang mungkin dapat diamati atau tidak. Seiring dengan berkembangnya
elemen-elemen musik seperti rithm, melodi dan harmoni dalam waktu, terapis dan
klien dapat membangun hubungan yang mengoptimalkan kualitas hidup. Lundberg
(dalam Feinstein, 1999) menjelaskan bahwa terapi musik pada hakekatnya adalah membangun hubungan antara
pasien dan terapis yang terlatih menggunakan musik sebagai dasar komunikasi.
Pasien dan terapist berpartisipasi aktif dalam sesi terapi lewat memainkan alat
musik, menyanyi, atau mendengarkan musik. Terapis tidak mengajarkan bagaimana
bernyanyi atau memainkan alat musik, lebih pada pemanfaatan alat musik dan
bunyi untuk mengeksplorasi dunia bunyi dan menciptakan bahasa musik secara
umum. Perhimpunan Terapis Musik Kanada (1984) mendefinisikan terapi musik
sebagai pemanfaatan kemampuan musik dan elemen musik oleh terapis untuk
menaikkan, merawat, dan memperbaiki mental, emosional, dan kesehatan spiritual.
Musik mengandung kualitas nonverbal, struktur kreatif, dan emosional. Inilah
yang digunakan dalam hubungan terapeutik untuk memfasilitasi kontak, selfawareness,
belajar, ekspresi diri, komunikasi, dan perkembangan pribadi.
Melalui media berupa alat musik menurut
Djohan (2006: 24) klien juga didorong untuk berinteraksi, berimprovisasi,
mendengarkan atau aktif bermain musik, tanpa harus mengucapkan kata-kata.
Mislanya, klien dapat mengekspresikan kemarahannya dengan berimprovisasi di
alat musik. Pada penderita alzheimer yang kehilangan kemampuan berbahasa dapat
dilakukan memperdengarkan lagu-lau kenangan atau hanya sekedar mendengar
mengikuti irama musik. Lewinsohn dan Graf (dalam Rathus, 1986) berpendapat
bahwa salah satu cara mengatasi depresi adalah melakukan aktivitas-aktivitas
yang berhubungan dengan emosi positif, aktivitas yang tidak sesuai dengan
keadaan depresi. Aktivitas yang berhubungan dengan emosi positif misalkan
tertawa, memikirkan orang yang dicintai, melihat pemandangan yang indah,
mendengarkan musik, dan lain sebagainya. Mendengarkan musik dapat membuat
seseorang merasa sedih, gembira, dan mengalami berbagai pengalaman emosi
lainnya.
Secara psikologis musik berkaitan
dengan emosi manusia. Fisher, dkk (1990) membagi emosi ke dalam dua kategori,
yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif terdiri atas cinta dan
bahagia. Emosi negatif terdiri atas marah, sedih, dan takut. Cinta terdiri atas
kesukaan dan birahi. Bahagia terdiri atas bliss, kepuasaan dan
kebanggaan. Istilah bliss agak sulit diterjemahkan karena pada
hakekatnya menunjukkan rasa bahagia juga, tapi dalam bliss ini kebahagiaan
yang dimaksud cenderung melibatkan perasaan terlepas dari tekanan dan dirasakan
sebagai perasaaan yang amat ringan. Emosi negatif marah terdiri dari perasaan
terganggu, perasaan bermusuhan, perasaan terhina, dan perasaan iri. Adapun
kesedihan meliputi perasaan menderita, duka, rasa bersalah dan kesepian.
Selanjutnya rasa takut terdiri atas perasaan seram dan cemas. Penjelasan emosi
dari Fisher tersebut membuktikan bahwa setiap individu memiliki rentang serta
kedalaman emosi yang unik. Luasnya rentang emosi pada diri individu perlu
dijadikan bahan pertimbangan dalam memanfaatkan musik tertentu untuk menggugah
kondisi emosi individu yang bersangkutan. Jika individu yang bersangkutan
tengah mengalami tekanan hidup yang menyebabkan depresi, perlu diwaspadai bila
diperdengarkan musik-musik yang bernuansa kesedihan. Secara umum musik-musik
tersebut mungkin menambah rasa sedih yang dialaminya menjadi suatu penderitaan,
rasa bersalah atau kesepian. Jika hal ini terjadi individu akan semakin menarik
diri dari kehidupan sosial, merasa hidup tidak lagi berharga, dan semakin lama
hal ini semakin kuat mendorong individu untuk mengakhiri hidup (Satiadarma,
2002). Jadi, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mendengarkan musik tertentu
dapat mengalami emosi tertentu pula, dan emosi yang timbul tidak sama diantara
beberapa individu. Sebaliknya, ketika menciptakan musik, pencipta dipengaruhi
oleh nada emosional tertentu sehingga ada kesenjangan antara emosi pencipta dan
pendengar, meskipun demikian kesenjangan yang muncul biasanya masih berada
dalam kelompok emosi tertentu bukan yang berlawanan. Oleh karena itulah untuk
menggugah emosi seseorang perlu mempertimbangkan nuansa emosi dalam musik yang
akan diperdengarkan.
a. Elemen-elemen Dalam Terapi Musik
Untuk dapat disebut sebagai terapi
musik maka perlu ada beberapa elemen penting yaitu: (a) terapi musik dianjurkan
oleh anggota dari tim yang merawat klien. Anggota tim termasuk di dalamnya
dokter, pekerja sosial, psikolog, guru, dan orangtua; (b) Musik adalah alat terapi
utama. Musik dipakai untuk menstabilkan hubungan yang saling percaya, ahli
terapi musik lalu bekerja untuk meningkatkan fungsi fisik dan mental secara
hati-hati lewat aktivitas yang terstruktur. Misalkan, menyanyi, mendengarkan,
memainkan alat musik, menciptakan, dan latihan imaginasi; (c) Musik
diselenggarakan oleh ahli terapi musik yang terlatih. Pelatihan dan pendidikan
ahli terapi musik haruslah luas. Intervensi musikal dikembangkan dan digunakan
oleh ahli terapi berdasarkan pengetahuannya terhadap efek musik terhadap
perilaku, kekuatan dan kelemahan klien, dan tujuan terapi; (d) Terapi musik
diterima oleh klien dan targetnya pada populasi dan usia yang beragam; (e)
Terapi musik dilaksanakan untuk mencapai tujuan terapeutik yang spesifik dan
objektif. Sangat penting untuk disadari bahwa meskipun klien mungkin
mengembangkan kemampuan musikal mereka selama terapi, tapi kemampuan ini
bukanlah perhatian utama ahli terapi. Perhatian utama ahli terapi adalah pada
perkembangan pengaruh musik pada fisik, psikologis, dan fungsi sosial-ekonomi
klien (Linberg, 1999). Simposium Internasional Ahli-Ahli Terapi Musik (1982)
menjelaskan bahwa elemen terapi musik adalah irama, melodi dan harmoni. Irama
adalah sekelompok nada tertentu dengan nilai not bervariasi yang diulang- ulang
secara teratur dan menjadi bagian dari sebuah lagu. Melodi adalah sekumpulan
nada yang dibunyikan secara berurutan. Harmoni adalah sekumpulan nada yang
berbunyi bersamaan dan membentuk suasana musikal tertentu.
b. Metode yang Digunakan dalam Terapi
Musik
American Music Therapy Assosiation (2003) menjelaskan bahwa dalam terapi musik, seorang terapis
mengukur kesejahteraan emosional, kesehatan fisik, fungsi sosial, kemampuan
komunikasi dan kemampuan kognitif klien lewat fungsi musikal klien; menyusun
sesi musik sesuai kebutuhan klien dan kelompok seperti mendengarkan musik,
menuliskan lagu, mendiskusikan lirik, musik dan imajinasi, memainkan alat
musik, dan belajar lewat musik.
Canadian Assosiation of Music Therapy (1994) menjelaskan bahwa cara-cara yang dapat digunakan
dalam terapi musik adalah : (a) menyanyi; dapat digunakan untuk individu yang
mengalami kelemahan dalam berbicara seperti artikulasi, tempo, dan kontrol
nafas. Dalam kelompok, individu dapat belajar menyadari keberadaan orang lain dengan
menyanyi bersama-sama. Lagu-lagu dapat menolong orang-orang yang berusia lanjut
untuk mengingat kejadian-kejadian penting dalam hidup mereka yang ingin
dibagikan dengan orang lain. Lirik dapat digunakan untuk membantu
individu-individu dengan keterbelakangan mental dalam melakukan tugas-tugas
yang berurutan; (b) memainkan alat musik, dapat meningkatkan koordinasi motorik
pada individu dengan hambatan motorik. Memainkan alat musik dalam kelompok akan
membantu individu belajar mengontrol dorongandorongan yang merusak. Mempelajari
sebagian kecil musik dan memainkannya akan mengembangkan kemampuan musikal dan
membantu membangun daya lentur self, kepercayaan diri dan disiplin diri;
(c) bergoyang, digunakan untuk mendorong perluasan perasaan, gerakan bersama,
kekuatan, keseimbangan, koordinasi, konsistensi pola pernapasan, dan relaksasi
otot-otot. Komponen tempo dalam musik ini membantu meningkatkan motivasi,
minat, dan kesenangan dan bertindak sebagai persuasi nonverbal yang mendorong
penyesuaian sosial; (d) improvisasi, memberikan peluang untuk melahirkan
kreativitas sebagai ekspresi perasaan. Hal ini akan membantu terapis untuk
mempertahankan ikatan kepercayaan dengan klien dan memberikan layanan
pengukuran yang bermanfaat; (e) mencipta, digunakan untuk mengembangkan belajar
bekerjasama dan mendorong berbagi perasaan, ide-ide, dan pengalaman. Bagi orang
dengan pengakit parah, ini adalah cara untuk menguji perasaannya tentang arti
hidup dan mati, ketika menciptakan sesuatu yang berharga untuk ditinggalkan bagi
orang yang dicintai. Lagu yang menyembuhkan, yang ditulis untuk dan oleh klien,
dapat memfasilitasi saat yang menakutkan dari kesadaran diri atau katarsis; (f)
mendengarkan musik mempunyai banyak penerapan terapeutik. Dapat membantu
mengembangkan kemampuan kognitif seperti perhatian dan memori. Hal ini
mendorong proses untuk keluar dari kesulitan tertentu lewat menciptakan
lingkungan yang kreatif untuk mengekspresikan diri. Musik membangkitkan memori
dan asosiasi. Mendengarkan musik secara aktif dalam keadaan yang tenang dan
rileks akan menstimulasi pikiran, imaginasi, dan perasaan yang dapat di uji
lebih lanjut dan didiskusikan dengan terapis saja atau dengan kelompok yang
mendukung.
ART THERAPY
Lewis (dalam Silver dan Ellison, 1995)
menyebutkan bahwa penerapan terapi secara verbal kurang efektif bila
dibandingkan dengan terapi yang secara terstruktur melibatkan lingkungan
pergaulan dan memiliki program modifikasi perilaku yang jelas. Penelitian lain
menunjukkan bahwa anak yang memiliki gangguan perilaku lebih bersifat
kinestetik daripada verbal dan banyak yang kurang mampu dalam bahasa (Silver
dan Ellison, 1995). Untuk itu, agar keberhasilan proses terapi meningkat,
Shirley Riley dalam bukunya Contemporary Art Therapy with Adolescense menegaskan bahwa kualitas yang perlu diperhatikan dalam memilih
alternatif konseling dan terapi adalah menemukan metode yang dapat diterima
klien.
Salah satu alternatif yang ditawarkan oleh
banyak ahli psikologi dan psikiatri adalah aktivitas seni (art therapy atau expressive
therapy). Dalam tulisannya yang berjudul Re-education Through the Creative Arts,
Juul dan Schuler (1983) menjelaskan bahwa aktivitas seni dapat meningkatkan
perkembangan normal anak serta mengatasi gangguan perilaku pada anak dan remaja
akibat terganggunya emosi dan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial. Anderson (dalam Juul dan Schuler, 1983) menambahkan bahwa
keseluruhan bentuk seni memiliki nilai intrinsik yang mendorong anak untuk
berkreasi. Seni juga dapat meningkatkan ketrampilan komunikasi dan kerja sama,
membangun konsep diri yang positif serta dapat membantu meningkatkan
ketrampilan akademik. Pendapat ini dipertegas oleh The
American Art Therapy Association (2003) yang mengatakan
bahwa art therapy banyak
digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik emosional, meningkatkan
kesadaran diri, mengembangkan ketrampilan sosial, mengontrol perilaku,
menyelesaikan permasalahan, mengurangi kecemasan, mengarahkan realitas, dan
menambah self esteem atau
harga diri.
Istilah art
therapy terdiri dari dua kata yaitu kata art dan therapy. Art menunjukkan
makna keaslian, invidualitas, proses kreatif, spontanitas, penggunaan warna,
tekstur, bahan-bahan grafis, dan imajinasi, sedangkan therapy
menunjukkan suatu kepedulian, proses
mendengar, penyembuhan, proses bergerak ke arah keutuhan, perubahan dan
perkembangan serta menekankan pada pemahaman manusia (Fleshman dan Fryrear,
1981).
Istilah art
therapy terkadang digunakan untuk menunjukkan suatu
bentuk terapi seni atau terapi ekspresif secara umum (Juul dan Schuler, 1983;
Jarboe, 2004) namun lebih sering digunakan untuk menunjukkan bentuk terapi
kreatif yang bersifat seni visual atau melukis/menggambar (Ballou, 1995;
Glaister, 2000; Jarboe, 2004; Dubowski, 1994; American
Art Therapy Association, 2003). Ballou (1995) menyebutkan bahwa art therapy merupakan salah satu bentuk dari beberapa
jenis expressive therapy (terapi
ekspresif). Terapi ekspresif adalah suatu proses terapeutik yang menggunakan
intervensi nonverbal dan modalitas dansa/gerakan, gambar/lukisan, dan musik
sebagai media untuk berekspresi. Terapi ekspresif ini disebut juga sebagai
terapi kreatif atau terapi aktivitas. Melalui aktivitas terapeutik ini,
individu mendapat kesempatan untuk mengetahui dan mengatasi kebiasaan atau
perilaku yang maladaptif yang dapat menimbulkan konflik intrapersonal dan atau
interpersonal. Proses terapeutik yang menggunakan aktivitas menggambar sebagai
modalitas utama sering disebut visual art therapy atau
art therapy saja.
Sejalan dengan pendapat Ballou ini, Glaister (2000) menyebutkan bahwa art therapy merupakan suatu proses penyembuhan yang
menggunakan gambar atau lukisan sebagai media untuk melakukan identifikasi,
mengeksplorasi serta mengubah konsep diri, perasaan dan perilaku individu.
a. Prosedur pelaksanaan dan teknik art therapy
Menurut Ballou (1995), tidak ada prosedur
khusus dalam art therapy,
namun secara khusus terdiri dari tiga tahap. Pertama, klien fokus pada sebuah
peristiwa atau perasaan. Pada tahap ini, terapis menjelaskan tentang topik yang
berhubungan dengan suatu peristiwa atau perasaan kemudian meminta klien untuk
memikirkan atau merasakannya. Kedua, klien membuat sebuah image yang
merepresentasikan peristiwa atau perasaan tersebut. Pada tahap ini, terapis
perlu memberikan reinforcement atas
usaha klien dan mengobservasi bagaimana cara mereka menyelesaikan lukisannya.
Tahap ketiga, terapis memperhatikan arti kreasi klien dengan memperhatikan
emosi gambar, warna, proporsi, dan bentuk desain secara keseluruhan serta
asosiasi verbal klien. Pada tahap ini, terapis perlu menggali lebih lanjut
tentang simbol dan image yang ada maupun yang tidak ada dalam kreasi klien.
Klien dan terapis kemudian memproses hasil
kreasi tersebut secara verbal dan mengunakannya untuk membantu klien menyadari
dan memahami dirinya. Dalam pelaksanaannya, secara umum ada 2 teknik yang
dikembangkan dan dapat diterapkan untuk semua jenis klien, termasuk anak yang
mengalami gangguan perilaku, yaitu teknik terstruktur dan teknik tidak
terstruktur. Pada teknik terstruktur, klien diminta untuk menggambar image yang
telah ditentukan yang kemudian diinterpretasi berdasarkan kriteria tertentu
seperti penggunaan warna, penggambaran bentuk, pemberian bayangan, dan
sebagainya. Contohnya adalah Human Figure Drawing Test, Kinetic Family Drawing dan House, Tree, Person.
Pada teknik tidak terstruktur, subjek diberikan kebebasan berekspresi
sepenuhnya dan interpretasi gambar tidak berdasarkan kriteria-kriteria baku.
Contoh yang paling terkenal adalah Teknik Mandala yang didasarkan pada teori
Jung tentang integritas kepribadian (Feder dan Feder dalam Ballou, 1995).
Sebagaimana intervensi lainnya, art therapy dapat diberikan dalam jangka panjang ataupun
secara intensif (jangka pendek). Menurut Tyndall-Lind dan Landreth (2001)
pemberian terapi jangka pendek (intensive short
term therapy) selama 9 – 24 jam (dalam 6 – 12 pertemuan)
cukup efektif untuk membantu gangguan perilaku anak.
Penerapan art
therapy dilakukan dengan menggabungkan berbagai model
asesmen dan treatmen termasuk psikodinamika, kognitif, perilaku, dan bentuk
terapeutik lainnya (American Art Therapy Association, 2003). Seperti terapi lainnya, art
therapy juga dapat diberikan secara individual maupun
secara kelompok sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik klien. Pemberian
secara individual umumnya dilakukan pada klien yang mengalami gangguan
emosional karena trauma, sedangkan pemberian secara kelompok terutama dilakukan
pada anak-anak yang memiliki permasalahan penyesuaian diri seperti pada anak
yang mengalami gangguan perilaku. Menurut Yalom (dalam Tyndall-Lind dan
Landreth, 2001), bukti empirik selama lebih dari dua puluh lima tahun
membuktikan bahwa penggunaan terapi kelompok pada anak-anak memiliki 10 sifat
kuratif yaitu : (a) pemberi informasi; (b) menumbuhkan harapan, yang membantu
anak untuk merasa memiliki kendali atas hidupnya; (c) keseragaman (universality), yang membantu anak menyadari bahwa ada
anak lain yang mengalami hal yang sama dengannya; (d) menumbuhkan sifat
mementingkan orang lain (altruism),
dimana anak mendapat kesempatan untuk memberi dan menerima, (e) memperbaiki hubungan
keluarga, karena melalui sistem kelompok anak belajar bagaimana hubungan dan
dinamika keluarga; (f) mengembangkan kemampuan bersosialisasi; (g) anak dapat
meniru perilaku positif dari figur terapis; (h) anak dapat belajar tentang
hubungan interpersonal; (i) membentuk kepa duan (cohesiveness) kelompok; dan (j) menjadi media katarsis.
b. Aplikasi Art Therapy
Tujuan utama terapi ini bukanlah untuk
menghasilkan produk yang artistik, tetapi memberi kesempatan kepada klien untuk
bebas mengkomunikasikan dan mengekspresikan dirinya guna membantu penyembuhan
dan pengembangan dirinya. Dalam pelaksanaannya, proses art
therapy menggabungkan berbagai konsep psikologi
seperti psikodinamika, humanistik, kognitif, dan sebagainya. Art therapy digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan
konflik emosional, meningkatkan kesadaran diri, mengembangkan ketrampilan
sosial, mengontrol perilaku, menyelesaikan permasalahan, mengurangi kecemasan,
mengarahkan realitas dan menambah self esteem atau harga diri (American Art Therapy Association , 2003). Dalam art therapy,
proses dan respon klien saat menggambar serta gambar/lukisan yang dihasilkan
digunakan sebagai refleksi atas perkembangan, kemampuan, kepribadian,
ketertarikan, perhatian, dan konflik individu (Ballou, 1995; American Art Therapy Association,
2003).
Beberapa tahun belakangan ini, aktivitas
menggambar telah banyak dijadikan sarana dalam proses terapi terhadap anak-anak
yang mengalami penganiayaan secara fisik dan seksual atau menjadi korban
kejahatan rumah tangga, anak yang mengalami ganagguan emosional, anak yang
berada dalam perawatan medis (Malchiodi, 2001) dan anak yang mengalami gangguan
perilaku (Juul dan Schuler, 1983). Anak-anak yang mengalami gangguan perilaku
kebanyakan lebih bersifat kinestetik daripada verbal dan banyak yang kurang
mampu dalam bahasa, karena itu, gambar dapat membantu memahami bagaimana
dinamika individu dan apa yang mereka butuhkan (Silver dan Ellison, 1995).
Menurut Winnicott (dalam Malchiodi, 2001), gambar dapar berfungsi sebagai
sarana komunikasi antara terapis dan anak yang dapat membuat anak aktif
berpartisipasi dalam proses terapeutik. Gambar akan membantu anak
mengekspresikan masalahnya dan pandangannya terhadap dunianya. Winnicott
menegaskan bahwa gambar dapat menjadi sebuah katalisator yang akan meningkatkan
interaksi dan efektivitas proses terapeutik antara terapis dan klien. Gross
& Hayness (dalam Malchiodi,2001) melakukan percobaan tentang bagaimana
pengaruh gambar dalam memfasilitasi laporan secara verbal pada anak. Mereka
menemukan bahwa anak-anak yang diwawancarai ketika sambil menggambar memberikan
informasi yang lebih banyak dibandingkan anak-anak yang hanya diminta
bercerita. Mereka berasumsi bahwa hal ini terjadi karena menggambar dapat
mengurangi kecemasan dan menolong anak merasa lebih nyaman dengan terapis,
dapat meningkatkan pemanggilan kembali memori, dan dapat membantu anak mengorganisir
ceritanya.
Pada anak-anak yang mengalami gangguan
perilaku, sering terdapat prasangka permusuhan sehingga sulit mempe rcayai
orang lain. Melalui art therapy ini,
anak dapat belajar mempercayai orang lain yang bukan pengasuh utamanya, dapat
menggunakan proses menggambar sebagai media penenang, dan dapat membentuk
kelekatan dengan terapis. Hal ini karena aktivitas menggambar dan lukisan yang
dihasilkan dapat disamakan fungsinya dengan objek pengganti (transitional object). Objek
pengganti biasanya berupa permainan favorit (seperti boneka) yang menjadi
tempat atribusi karakteristik pengasuh utama yang digunakan anak untuk
menenangkan hatinya saat berpisah dengan pengasuh atau ketika berada dalam
situasi yang menimbulkan kecemasan (Winnicott dalam Jarboe, 2004). Penggunakan art therapy sebagai intervensi klinis yang utama bagi
remaja yang nakal telah dikembangkan di Manhattan (Wolf dalam Juul dan Schuler,
1983). Program ini didasarkan pada teori yang menyatakan anak atau remaja yang
nakal mengalami kekurangan kasih sayang dan hubungan maternal yang jelek.
Perilaku merusak dan antisosial yang mereka lakukan sebenarnya merupakan usaha
untuk mendapatkan respon dari lingkungan sehingga anak dapat mengalami hubungan
yang hilang tersebut. Dengan setting terapeutik seperti art therapy ini, anak akan dapat mengekspresikan dan
hidup melalui trauma yang dialaminya diawal kehidupan, sehingga kapasitas
emosional dan penyesuaian sosialnya tidak lagi terhambat.
Manning (dalam Johnson dan Chuck, 2001)
menguji gambar yang dibuat oleh anak yang dianiaya dan anak yang berasal dari
keluarga yang terlibat kejahatan. Ia menemukan bahwa tindakan agresi sering
dilukiskan dalam ukuran figur yang besar, cuaca yang buruk, dan objek yang
bergantung atau jatuh dikepala anak. Garis tebal juga sering ditemukan pada
gambar yang menunjukkan usaha mereka untuk membuat garis batas antara dirinya
dengan dunia luar. Salent (dalam Johnson dan Chuck, 2001) menjelaskan bahwa
gambar anak yang pertama dalam proses terapi secara khusus mengilustrasikan
permasalahannya. Misalnya anak yang agresif, pertama kali menggambar gunung
berapi yang memuntahkan abu dan uap panas, secara simbolik gambar ini
menunjukkan kemarahannya sendiri yang meledak-ledak.
Pada anak yang mengalami gangguan perilaku,
teknik art therapy yang
digunakan dapat bersifat terstruktur maupun tidak terstruktur atau kombinasi
keduanya. Pada teknik terstruktur, proses terapi dimaksudkan sebagai media
untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan tertentu sedangkan pada teknik
tidak terstruktur, proses menggambar atau art
therapy dimaksudkan sebagai media katarsis yang
dengannya klien dapat bebas mengekspresikan perasaannya. Dengan
mengkombinasikan kedua teknik ini, proses terapi tidak hanya menjadi media
katarsis bagi anak tetapi juga menjadi media mempelajari
ketrampilan-ketrampilan baru. Salah satu ketrampilan yang dapat dilatih dengan
menggunakan art therapy ini
adalah ketrampilan sosial, baik yang bersifat intrapersonal, interpersonal,
maupun yang berhubungan dengan akademis. Penggunaan teknik terstruktur yang
telah digunakan beberapa ahli art therapy untuk
mengembangkan ketrampilan sosial anak antara lain adalah: teknik menggambar
jembatan (Thomas, 2002) yang dimaksudkan untuk mengajarkan anak menyusun
langkah-langkah atau strategi tertentu untuk mencapai harapan dan keinginannya;
teknik menggambar diri/orang (Human Figure Drawing Test) dan menggambar orang, pohon dan rumah (House-Tree-Person
Test) yang dimaksudkan untuk melatih anak
mengenali diri dan lingkungannya (Ballou, 1995), dan teknik menggambar emosi
yang dirasakan serta situasi penyebabnya (Wallin dan Durr, 2005) yang
dimaksudkan untuk melatih anak mengenali dan mengontrol emosinya.
Pada anak yang mengalami gangguan perilaku,
pemberian ketrampilan mengenali diri dan lingkungan serta menyusun langkah
mencapai keinginan ini membantu mengurangi prasangka permusuhan terhadap
lingkungan dan mengurangi perilaku agresif sebagai strategi mencapai tujuan.
Adapun pada teknik tidak terstruktur, anak diberi kebebasan untuk menggambar
apa saja yang dimaksudkan untuk membantu anak bebas mengekspresikan perasaan
dan konflik-konflik internal yang dialaminya. Menurut Johnson dan Chuck (2001) art therapy pada anak yang mengalami gangguan perilaku
sebaiknya diberikan dalam bentuk kelompok (group
therapy) karena kelompok akan menjadi media bagi
anak untuk menurunkan emosi dan menyalurkan energi. Kelompok juga dapat
membantu anak mengevaluasi perilakunya dan menjadi media bagi anak untuk
mempraktekkan ketrampilan yang baru diperolehnya. Penerapan art therapy secara berkelompok pada siswa sekolah dasar
oleh Wallin dan Duur (2002) menunjukkan bahwa ada peningkatan belajar sosial
dan emosional pada anak yang memiliki masalah perilaku.
BIBLIOTHERAPY
Bibliotherapy adalah suatu terapi yang
menggunakan aktivitas membaca pustaka yang telah diseleksi, yang disusun dan
diterapkan sebagai suatu prosedur tritmen untuk tujuan-tujuan terapeutik
(Sclabassi, dalam Herink, 1980). Bryan (dalam Herink, 1980) mendefinisikan bibliotherapy
sebagai ‘peresepan’ (prescription) materi-materi bacaan yang akan
membantu mengembangkan kematangan emosional, memelihara & menunjang
kesehatan mental.
Menurut
Hynes dan Hynes-Berry (1994), bibliotherapy menggunakan pustaka untuk
menghasilkan suatu interaksi yang bersifat terapeutik antara partisipan dan
fasilitator. Selain itu, mereka membedakan pendekatan atau pemikiran (schools
of thought) mengenai bibliotherapy menjadi dua, yaitu reading
bibliotherapy dan interactive bibliotherapy. Pada reading
bibliotherapy, proses penyembuhan dititikberatkan pada aktivitas membaca
itu sendiri, yaitu pada interaksi yang terjadi antara pembaca dengan materi
bacaannya, dan tidak secara langsung melibatkan orang yang menyarankan materi
tersebut (fasilitator). Pada tahun 1949, disertasi dari Caroline Shrodes
semakin mengukuhkan pengertian bibliotherapy sebagai suatu proses yang
dialami oleh individu dalam membaca buku yang secara khusus dipilih karena
bermanfaat terapeutik bagi individu tersebut (Hynes dan Hynes-Berry, 1994).
Jadi, penekanannya bukanlah hanya pada proses menyarankan buku-buku tertentu
saja (prescribing books), melainkan pada bagaimana pembaca memanfaatkan
isi dari buku tersebut.
Pada
interactive bibliotherapy, proses penyembuhan difokuskan pada aktivitas
membaca dan dialog terpimpin mengenai materi tersebut. Jadi, terdapat interaksi
partisipan–pustaka–fasilitator, yang dapat dilihat melalui interaksi, yaitu
respon pribadi partisipan terhadap materi bacaan merupakan hal yang penting,
tetapi berdialog dengan fasilitator mengenai respon tersebut dapat mengarahkan
pada suatu dimensi pemahaman yang benar-benar baru. Pendekatan ini
dilatarbelakangi oleh definisi dari Rubin dan beberapa definisi terbaru
mengenai bibliotherapy (dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994) bahwa
terdapat suatu dimensi terapeutik yang signifikan pada dialog yang difasilitasi
tentang perasaan dan respon individu terhadap pustaka.
a. Teknik bibliotherapy
Menurut
Sclabassi (dalam Herink, 1980) dua macam teknik bibliotherapy:
1. Pustaka Didaktik
Pustaka
didaktik pada umumnya bertujuan untuk memfasilitasi suatu perubahan dalam diri
individu melalui suatu pemahaman diri yang lebih bersifat kognitif. Pustakanya
bersifat instruksional dan edukasional, seperti buku pegangan (handbooks),
dan dokumen. Topik-topik yang dimasukkan antara lain adalah mengenai pengasuhan
anak, perkawinan dan seks, koping terhadap stres, relaksasi, dan meditasi dan
lain sebagainya.
2. Pustaka Imajinatif
Pustaka
imajinatif mengacu pada penggambaran perilaku manusia dalam suatu cara yang
dramatik. Kategori ini meliputi novel-novel, cerpen-cerpen, dan
permainan-permainan. Landasan teoretisnya adalah mempostulasikan suatu hubungan
antara kepribadian dan pengalaman vicarious (yang seolah-olah dialami
sendiri). Pembaca secara simultan terlibat dan terpisah dari cerita, seperti
yang nyata dalam situasi vicarious. Menurut Sclabassi (dalam Herink,
1980), bibliotherapy telah dianggap memadai baik sebagai suatu teknik
utama maupun sebagai suatu tambahan untuk berbagai teknik terapeutik yang lain.
Tidak ada metodologi eksplisit tertentu bagi pemilihan materi-materi bacaan
yang tepat. Yang terpenting adalah terapis tidak hanya mengenali pasiennya,
tetapi juga mengenali pustaka-pustaka yang akan digunakan.
Menurut
Hynes dan Hynes-Berry (1994), materi-materi yang bersifat bibliotherapeutic dapat
meliputi materi-materi yang bersifat imajinatif, didaktik, dan informasional.
Puisi, permainan-permainan, cerita pendek, novel, essays, artikel
majalah, dan bagian-bagian dari buku teks kesemuanya dapat digunakan baik dalam
bentuk yang utuh maupun yang telah diringkas; demikian pula, bagian-bagian
kecil dari materi-materi di atas dapat dikutip untuk digunakan. Menurut
Sclabassi (dalam Herink, 1980), tidak ada patokan cara tertentu untuk menerapkan
bibliotherapy dalam suatu tritmen. Misalnya, pustaka tertentu dapat
direkomendasikan atau ‘diresepkan’ oleh terapis untuk aktivitas membaca antar
sesi dan didiskusikan setelah itu, atau aktivitas membaca dapat dilakukan dalam
suatu sesi kelompok dan berperan sebagai suatu batu loncatan untuk pengungkapan
pribadi, atau terapis dapat membaca sebuah cerita sebagai suatu tambahan
terhadap suatu sesi terapi bermain pada anak-anak.
Dahulu,
bibliotherapy terutama diterapkan pada terapi individual (satu terapis,
satu klien). Namun, sekarang bibliotherapy lebih umum diterapkan pada setting
kelompok. Walaupun demikian, pokok yang harus diingat adalah bahwa proses
dan tujuan bibliotherapeutic terutama berfungsi dalam kaitannya dengan
individu-individu yang membentuk kelompok tersebut. Oleh karena itu, kepedulian
utama dari fasilitator adalah lebih pada kebutuhan-kebutuhan dari partisipan
sebagai individu-individu dibandingkan dengan kelompok sebagai suatu kesatuan
(Hynes dan Hynes-Berry, 1994).
b. Populasi bibliotherapy
Menurut
Hynes dan Hynes-Berry (1994), populasi bibliotherapy dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1.
Clinical bibliotherapy
Clinical bibliotherapy merupakan salah
satu dari beberapa terapi kreatif yang digunakan pada populasi-populasi dalam
suatu program tritmen yang spesifik. Fasilitator dilatih untuk menggunakan
suatu metodologi psikoterapeutik dengan pustaka yang berperan sebagai alat
utama untuk menolong klien mencapai suatu kepribadian yang terintegrasi.
Sasaran populasi yang termasuk dalam clinical bibliotherapy:
a). Orang-orang yang mengalami gangguan emosional.
Klien-klien ini mencakup klien-klien yang berada di rumah sakit jiwa, yang akan
kembali untuk memperoleh tritmen dan tindak lanjut, atau yang akan menerima
tritmen profesional secara mandiri. Mereka mengenal bibliotherapy sebagai
bagian dari rencana kontraktual mereka untuk terapi. Biasanya,
kelompok-kelompok dibentuk berdasarkan populasi-populasi yang spesifik.
Misalnya, satu kelompok akan dibatasi pada remaja-remaja yang menagalami
gangguan emosional, kelompok yang lain pada pasien-pasien rumah sakit yang
kronis, dan kelompok ketiga pada pasien-pasien yang juga menderita suatu cacat
fisik seperti kebutaan atau ketulian.
b). Penghuni lembaga pemasyarakatan. Bibliotherapy dapat
menjadi bagian dari suatu program lembaga pemasyarakatan atau disyaratkan
sebagai bagian dari masa percobaan dan pembebasan bersyarat. Walaupun
anggota-anggota dari populasi ini biasanya berpartisipasi di bawah perintah dan
bukan secara sukarela, namun bibliotherapist biasanya tetap menekankan
prinsip bahwa tidak seorang pun dapat dipaksa untuk mengungkapkan
perasaan-perasaan dan pemahaman-pemahaman pribadinya. Penekanan dalam
kelompok-kelompok lembaga pemasyarakatan adalah pada membantu partisipan untuk
lebih mengenali dan mematuhi norma-norma masyarakat dan patokan-patokan
perilaku. Namun, bibliotherapist seharusnya juga menyadari bahwa
partisipan juga dapat menjadi tidak stabil secara emosional dan, pada
kasus-kasus seperti itu, bibliotherapy juga membantu untuk penyembuhan
psikologis.
c). Orang-orang yang mengalami ketergantungan zat.
Kelompok-kelompok clinical bibliotherapy telah menjadi suatu elemen yang
berhasil dari program-program rehabilitasi ketergantungan obat dan alkohol di
rumah sakit (Mazza; Gladding; Schecter, dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994).
Partisipan dalam tritmen untuk ketergantungan biasanya secara intens terlibat
dalam evaluasi diri dan cenderung berespon secara efektif terhadap penggunaan
materi yang bersifat imajinatif dan informasional sebagai suatu stimulus untuk
menggali pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan mereka.
2. Developmental bibliotherapy
Developmental bibliotherapy berkembang
dari pengetahuan bahwa kebutuhan untuk menghadapi perasaan-perasaan pribadi,
meningkatkan kesadaran diri, serta meningkatkan harga diri tidak hanya terbatas
pada pasien-pasien gangguan mental, kriminal, atau orang-orang yang mengalami
ketergantungan zat. Pada umumnya, partisipan dalam developmental
bibliotherapy secara spesifik memilih terapi ini untuk lebih memahami diri
sendiri. Developmental bibliotherapy biasanya dilaksanakan dalam
kelompok-kelompok yang telah dibentuk dan bertemu dalam konteks suatu sekolah,
pusat komunitas, perpustakaan, dan gereja. Teknik-teknik dasar yang digunakan
untuk memfasilitasi kelompok-kelompok tersebut adalah sama seperti yang
digunakan dalam clinical bibliotherapy, tetapi kedalaman dari penggalian
terapeutiknya berbeda. Pada saat yang sama, bibliotherapist sering
memainkan peran yang kurang aktif dalam fase diskusi daripada yang dibutuhkan
dalam kelompok-kelompok clinical. Beberapa populasi yang tergolong dalam
kelompok-kelompok developmental antara lain:
a. Remaja dan anak-anak. Pustaka mengenai developmental
bibliotherapy dipenuhi dengan referensi-referensi tentang program-program
yang dirancang untuk kaum muda. Schultheis (dalam Hynes dan Hynes-Berry, 1994)
adalah seorang spesialis membaca yang menggunakan aktivitas membaca dan diskusi
yang berorientasi bibliotherapeutic untuk membantu meningkatkan harga
diri diantara mereka yang membutuhkan bantuan membaca secara khusus. Zaccaria
dkk.; Baruth dan Phillips; serta Benninger dan Belli (dalam Hynes dan
Hynes-Berry, 1994) memprofilkan cara-cara yang digunakan oleh para konselor
yang telah menggunakan bibliotherapy untuk membantu anak-anak dengan
masalah-masalah perilaku. Apapun konteksnya, bibliotherapists yang
bekerja dengan anak-anak dan remaja seharusnya memperjelas bahwa tujuan-tujuan bibliotherapy
adalah berbeda dengan tujuan-tujuan dari kelas tradisional atau kelompok
membaca. Dalam bibliotherapy, pustaka pada umumnya digunakan sebagai
suatu alat untuk membantu orang-orang muda mengatasi isyu-isyu yang sangat
kritis pada tahap ini, yaitu identitas diri, kemandirian, dan makna diri.
b. Orang-orang dewasa lanjut. Kelompok-kelompok developmental
untuk orang-orang dewasa lanjut dapat diorganisir melalui suatu pusat
komunitas, perpustakaan, gereja, atau panti jompo (retirement home).
Fasilitator seharusnya memahami bahwa karena usia merupakan kriteria utama,
populasi ini dapat menjadi sangat beragam. Tidak saja anggota-anggota dari
suatu kelompok sering berasal dari latar belakang yang cukup berbeda, namun
mereka juga bervariasi baik dalam hal kebutuhan maupun kemampuan untuk
mengatasi isyu-isyu seperti menghadapi kehilangan yang bersifat pribadi dan
kematian, menyesuaikan diri dengan perubahan peran yang penting, atau semakin
menurunnya kesehatan fisik.
c. Kelompok-kelompok pendukung. Kelompok-kelompok developmental
ini dibentuk melalui klinik-klinik bimbingan atau pusat-pusat bimbingan
vokasional sebagai bagian dari suatu program pendukung institusional bagi
pegawai. Kelompok-kelompok puisi dan doa dapat bekerja secara spesifik dalam
memperkuat kehidupan spiritual mereka. Dengan cara yang sama, suatu pertemuan
Orang Tua Tunggal dan suatu program bagi para perempuan korban kekerasan dapat
menawarkan sesi-sesi bibliotherapy untuk membantu para anggotanya
menghadapi kenyataan-kenyataan emosional yang terkait dengan
kesulitan-kesulitan spesifik mereka.
d. Orang-orang yang cacat. Orang-orang yang buta, tuli,
lumpuh, atau menderita penyakit yang kronis dapat memperoleh manfaat dari bibliotherapy.
Dalam kasus-kasus seperti itu, anggota-anggota dari suatu kelompok developmental
bibliotherapy dapat bertemu sebagai bagian dari suatu program rehabilitasi
atau perawatan kronis atau dalam setting komunitas.
e. Pasien-pasien yang sekarat. Program-program hospice menangani
kebutuhan-kebutuhan emosional dan fisik dari pasien-pasien dengan penyakit
terminal dan orang-orang yang mereka cintai (Butterfield-Picard, dalam Hynes
dan Hynes-Berry, 1994). Bibliotherapy dapat menawarkan kepada pasien dan
keluarga mereka suatu cara yang berarti untuk menghadapi isyu-isyu dan
perasaan-perasaan yang kuat yang ditimbulkan oleh penyakit yang serius, secara
spesifik, dengan menggunakan pustaka sebagai suatu konteks untuk mendiskusikan
konsep-konsep dan perasaan-perasaan yang mungkin cukup sukar bagi pasien dan
anggota keluarganya untuk dikemukakan.
Bibliotherapist harus peka terhadap
kebutuhan-kebutuhan khusus dari pasien sekarat serta fleksibel dalam
berhubungan dengan mereka. Lamanya waktu baik bagi pasien maupun anggota
keluarganya untuk dapat mengikuti suatu sesi bibliotherapy akan
bervariasi pada masing-masing individu dan hampir pasti akan berubah sehubungan
dengan penyakitnya. Selain itu, pasien-pasien yang sekarat dan keluarga mereka
cenderung untuk memiliki agenda-agenda yang cukup berbeda. Oleh karena itu, fasilitator
harus berhati-hati dalam mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dan
harapan-harapan dari semua yang terlibat dalam menentukan kapan untuk bekerja
secara individual dengan pasien, kapan untuk bertemu secara terpisah dengan
anggota-anggota keluarga, dan kapan suatu sesi bersama mungkin dapat membantu
semuanya untuk mencapai beberapa resolusi hubungan sebelum kematian.
f. Langganan perpustakaan publik. Para partisipan yang
bergabung dalam suatu kelompok developmental yang ditawarkan melalui
perpustakaan publik pada umumnya memiliki ketertarikan dalam menggunakan
pustaka untuk memperkaya kehidupan mereka dan untuk memperluas pandangan mereka
tentang diri mereka sendiri, orang lain, dan dunia.
c. Aplikasi bibliotherapy
Menurut
Sclabassi (dalam Herink, 1980), tingkatan-tingkatan intervensi dari bibliotherapy
dapat dibagi jadi empat area:
1. Intelektual
Bibliotherapy digunakan untuk
menstimulasi individu untuk berpikir dan menganalisis sikap-sikap dan
perilaku-perilaku antar sesi dan memungkinkan individu untuk menyadari bahwa
terdapat berbagai pilihan dalam menangani masalah. Individu mungkin akan
mendapatkan fakta-fakta yang diperlukan untuk pemecahan masalah, mendapatkan
pengetahuan tentang perilaku manusia untuk membantu memahami dirinya sendiri,
dan memperoleh pemahaman intelektual. Selain itu, bibliotherapy juga
dapat memperluas bidang minat individu.
2. Sosial
Bibliotherapy dapat digunakan untuk
memperbesar kesadaran individu di luar kerangka berpikirnya sendiri dan meningkatkan
kepekaan sosial dengan berada (dalam imajinasi) di posisi orang lain. Bibliotherapy
dapat digunakan untuk memperkuat pola-pola sosial dan kultural, menyerap
nilai-nilai kemanusiaan, dan memberikan suatu perasaan memiliki. Selain itu, bibliotherapy
juga membantu menghubungkan ekspresi-ekspresi emosi dan impuls yang tidak
dapat diterima secara sosial dan memfasilitasi pembaca untuk membentuk
tujuan-tujuan hidup yang memuaskan dan kemudian hidup secara lebih efektif.
3. Perilaku
Bibliotherapy dapat memberikan sumbangan
pada kompetensi dalam melakukan aktivitas, memberi individu suatu kesempatan
untuk bereksperimen secara imajinatif dengan berbagai modus perilaku dan
membayangkan efek-efek yang mungkin. Bibliotherapy juga membantu untuk
menghambat perilaku infantil, mempromosikan pertumbuhan dalam pola-pola reaksi,
dan mengembangkan prinsip-prinsip yang bermanfaat untuk bertindak.
4. Emosional
Bibliotherapy dapat menyediakan suatu
pengalaman vicarious tanpa sebelumnya menunjukkan kepada individu
risiko-risiko dari pengalaman aktual. Pembaca dapat memperoleh keyakinan dalam
membicarakan tentang masalah-masalahnya yang biasanya sukar untuk didiskusikan
karena perasaan-perasaan takut, malu, atau bersalah. Bibliotherapy ini
akan mendukung diskusi tanpa diawali rasa malu akan pembukaan rahasia diri
secara eksplisit. Bibliotherapy memungkinkan pembaca untuk membawa
perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman di bawah permukaan pada kesadaran
dan mengembangkan pemahaman emosional. Bibliotherapy dapat memberikan
solusi yang berhasil terhadap masalah-masalah yang serupa pada orang lain,
sehingga menstimulasi keinginan untuk menyelesaikan masalah-masalah individu
sendiri. Bibliotherapy juga dapat membantu individu untuk memahami
motivasi-motivasi diri sendiri dan orang lain dalam situasi tertentu.
PSIKODRAMA
Psikodrama merupakan salah satu pendekatan dalam
psikoterapi kelompok yang didasari oleh alasan teoritik, bahwa latihan berpikir
dan bertindak dengan cara yang baru sangat berguna agar mampu keluar dari
permasalahan yang dihadapi individu (Treadweel dan Kumar, 2002). Psikodrama merupakan
metode aksi yang menekankan pada proses serta penemuan insight melalui
penggunaan interaksi sosial antar anggota kelompok dan pemeranan. Orientasi
psikodrama lebih ditekankan pada masalah individu pada saat ini dan di sini
atau dalam konsep kekinian, serta menemukan pemecahan masalah yang efektif bagi
permasalahan yang dihadapi tersebut.
Sejak ditelurkannya pertama kali oleh J.L. Moreno
pada tahun 1912 sebagai dic stegreuftheater (drama spontanitas), psikodrama
telah menarik perhatian para praktisi profesional dan klinisi sebagai sebuah
metode terapi baru yang bersumber dari
terapi kelompok yang dikemas dalam bentuk drama, sehingga proses
berlangsungnya terapipun akan berjalan lebih menarik dan berkesan bagi para
klien yang melakukannya, karena selain terjadi interaksi sosial dari sesama
anggota tetapi juga terjadi pertukaran aksi dari masing-masing individu dalam
pola berpikir dan bertindak yang sama sekali baru.
J. L. Moreno sendiri mendefinisikan psikodrama
sebagai ilmu pengetahuan yang mengeksplorasi kebenaran melalui metode drama.
Salah satu tujuannya adalah untuk mengajarkan orang-orang menyelesaikan
permasalahan mereka pada kehidupan dunia yang kecil (kelompok), bebas dari
batasan-batasan konvensional dengan mengekspresikan permasalahan, ambisi,
impian, dan ketakutan mereka. Metode ini menekankan keterlibatan maksimal
dengan orang lain ketika menginvestigasikan permasalahan pada masa sekarang,
sebagai tambahan berhubungan dengan memori awal dan persepsi atau pandangan
seseorang. Jadi pada hakekatnya psikodrama merupakan proses sandiwara (dengan
berpura-pura) serta proses pertunjukan yang dikemas menjadi sebuah drama yang
bermakna. Syarat utamanya adalah kreativitas dan spontanitas dari masing-masing
personil yang terlibat. Sehingga jika sebuah adegan telah disetujui oleh
sutradara dan anggota kelompok serta pemeran utama telah terpilih, kemudian
setting telah dideskripsikan dalam komunikasi verbal, maka pertunjukan dimulai.
Kemudian pelaku utama distimulus untuk melakukan tindakan (berbicara sesuai
dengan masa kini ketika menunjuk kejadian masa lalu). Sutradara mencari dan
menemukan siapa saja yang penting bagi kehidupan seseorang yang akan
ditampilkan pada adegan (contohnya orang tua, saudara kandung, dan lain
sebagainya) dan akan meminta tokoh utama memilih anggota lain yang dapat
memainkan ego-ego tambahan (karakter) tersebut. Batas umur dan jenis kelamin
tidak begitu diperhatikan, pemilihan individu yang akan memainkan peran
tertentu dilihat pada faktor kesulitan dan kerumitan.
Psikodrama merupakan suatu konsep dari kombinasi
antara pengetahuan dan seni, karena untuk menjadi seorang ahli psikodrama atau
(sutradara / terapis) dituntut untuk mampu memberikan perubahan berupa
imaginasi, keingintahuan, bermain secara penuh, melucu, empati, keberanian,
pengetahuan, kematangan dalam penguasaan metode, serta memiliki syarat-syarat:
(1) punya penampilan yang optimistik dan afirmatif terhadap kelompok yang
potensial. (2) mampu memotivasi kreativitas dan memilikinya serta memprovokasi
spontanitas. (3) percaya diri dan yakin bahwa sesuatu yang positif akan
terjadi. (4) menciptakan suasana atau atmosfir yang berpotensi magis. (5)
memiliki kepekaan terhadap situasi dan kondisi yang tidak diketahui, tidak
ternyatakan, dan tidak terlahirkan dalam aksi psikodrama. (6) harus memiliki
rasa bermain drama yang sejati, menyenangkan, segar dan humoris. (7) harus
punya kemampuan untuk mengambil resiko, mendorong (membesarkan hati),
menstimulasi dan mempengaruhi klien..
a.
Elemen Pendukung dan Tahapan Terapi
Berbagai macam gangguan dan masalah yang dihadapi
individu di klaim mampu diterapi demngan menggunakan metode ini, hal ini tidak
lepas dari adanya kombinasi yang kuat dari dua faktor, yaitu inspiration and
technique. Inspiration adalah proses untuk kreativitas dan spontanitas yang
memungkinkan individu menciptakan sesuatu yang baru. Seseorang yang
terinspirasi telah dimasuki dan antusias oleh perasaan dan pemikiran orang
lain. Ketika terinspirasi, rasanya seperti menghirup udara baru. Untuk memulai
aksi sebuah drama, diperlukan adanya lima elemen dasar yang menjadi modal utama
berlangsungnya psikodrama, yaitu:
1) Pemeran
utama (Protagonist), pemeran utama akan menjadi fokus dalam psikodrama, yang
juga menjadi anggota kelompok untuk mengeksplorasi masalah-masalah pribadi mereka
dalam sesi terapi.
2) Sutradara
atau Terapis (Director), adalah orang yang memberi petunjuk dan memfasilitasi
berbagai aksi drama.
3) Pembantu
aksi (The Auxiliary Egos), adalah anggota kelompok (atau asisten terapis) yang
bermain sebagai orang penting dalam kehidupan klien, yang membantu dalam aksi
drama.
4) Penonton
(The Audience), terdiri dari anggta kelompok yang secara tidak langsung
terlibat dalam permainan. Berperan secara langsung maupun tidak dalam drama,
mengingatkan secara aktif dan positif serta terlibat dalam proses aksi.
5) Panggung
(the Stage), panggung sifatnya sangat fleksibel, secara sederhana maupun
kompleks. Bahkan dapat juga dideskripsikan dengan verbal tentang keadaan
pendukung pentas dalam sebuah ruangan, seperti televisi, mobil dan lain sebagainya.
Kelima elemen dasar tersebut merupakan prasyarat
wajib yang harus ada dalam proses psikodrama. Jika kelima hal tersebut telah
terpenuhi, maka hal lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah tahapan proses
berlangsungnya aksi dari psikodrama. Adapun tahapan yang harus dilewati
meliputi di bawah ini:
1) Warm-up (Pemanasan), pemanasan
dilakukan untuk merangsnag kreativitas dan spontanitas dari anggota kelompok.
Psikodrama seharusnya dipandang sebagai proses dimana secara individu (anggota
kelompok dan sutradara) yang mendorong untuk mengembangkan dan menggunakan
potenmsinya sendiri untuk berkreasi secara kreatif dan spontan.
2) Enactment (Pemeranan), dilakukan
untuk memudahkan interaksi dalam kelompok, meingkatkan rasa percaya dan
keanggotaan melalui teknik yang mendorong interaksi antara individu (misalnya,
membagi nama, pengalaman, aktivitas fisik yang melibatkan bebrapa sentuhan atau
komunikasi nonverbal). Proses pemanasan ini dapat meningkatkan kepaduan dari
kelompok, sementara pada waktu yang sama memberikan anggota untuk mendapat
beberapa rasa kuat dan kualitas yang bervariasi dari individu dalam kelompok.
Fase ini memiliki banyak kesamaan dengan proses yang dapat diamati di dalam
menghadapi kelompok atau sesi drama terapi, atau sebagai pemanasan dalam
berbagai kehidupan sehari-hari.
3) Sharing, sharing dilakukan untuk
membantu anggota fokus pada masalah-masalah pribadi yang diharapkan melakukan
beberapa pekerjaan dalam sesi psikodrama. Ini harapan seseorang atau banyak
orang yang muncul dari protagonis (kebutuhan individu) terpusat, proses
pemanasan dan meletakkan diri mereka untuk menjadi fokus dari (pemeranan).
b.
Teknik yang Digunakan
Dalam psikodrama klasik sedikitnya ada lima teknik
penting yang sering digunakan, antara lain:
1.
Role reversal (pemutaran peran)
Tokoh utama memainkan peran lainnya dan pemeran
pembatu memainkan tokoh utama secara bergantian. Pemutaran peran ini mempunyai
beberapa manfaat pada proses psikodramatis, yaitu anggota lain dalam kelomok
tersebut boleh mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai padangan tokoh
utama terhadap orang-orang penting dalam kehidupan mereka melalui dramtisasi
mereka pada individu tersebut. Tokoh utama dapat merasakan dunia dari pandangan
orang lain dan dengan posisi ini tokoh utama menerima umpan balik dari
pemeranan tokoh pembantu yang telah memainkan perannya. Pengalaman ini dapat
begitu berpengaruh, bermanfaat dan sebagai terapi. Pemutaran peran juga
digunakan untuk mendorong tokoh utama mengembangkan kontrol diri dimana tokoh
utama harus mengalami perasaan, pandangan objektif, semangat dan mungkin kejam
terhadap orang lain.
2.
Doubling (penggandaan)
Adalah suatu cara dimana tokoh utama digabungkan
dengan anggota lain pada kelompok tersebut, yang menjadi anggota aktif pada
proses pertunjukan. Duduk berdekatan dengan tokoh utama dan melakukan
gerakan-gerakan fisik yang sama. Peran ganda berfungsi sebagai pendukung dalam
menunjukkan posisi dan kondisi perasaan dari tokoh utama yang sedang memainkan
psikodrama tersebut. Ketika diungkapkan pikiran dan perasaannya tersebut
mungkin diterima oleh tokoh utama atau pada saat ia akan memfrasekan
ketidaksukaannya dengan menggunakan bahasanya sendiri atau menolaknya karena
tidak sesuai. Situasi tersebut akan membantu tokoh utama menyusun komentarnya
kembali, seperti pernyataan “bukan, bukan itu, sebenarnya.................”.
sehingga tokoh utama dapat mengembangkan pengetahuan dirinya. Selebihnya dengan
perjalanan waktu, tokoh utama akan menemukan bahwa pernyataan ganda tersebut
lebih sesuai daripada pernyataan yang diungkapkan dengan menggunakan pikiran
awal.
3.
Surplus reality (kenyataan surplus)
Pemaknaan dilakukan berulangkali ketika adegan dan
kejadian dimainkan. Jadi teknik ini akan enggambarkan bahwa sesuatu yang tidak
pernah terjadi, tidak akan pernah terjadi. Kemampuan untuk melakukan adegan ini
merupakan gabungan perasaan takut, emosi, fantasi dan harapan yang menjadi
salah satui kekuatan magis dari proses psikodramatis. Adegan mengenai pernah
mengalami kenyataan surplus merupakan salah satu cara terapi yang unik pada
psikodrama.
4.
Mirroring (pencerminan)
Suatu proses dimana tokoh utama digantikan oleh
anggota lain pada drama tersebut, yang memperbolehkan tokoh tersebut berdiri
berdampingan dan melihat drama atau adegan secara luas dan jelas. Hal ini mendorong
kepekaan protagonist menjadi lebih objektif ketika berinteraksi dengan orang
lain.
5.
Closure / completion (penutupan /
penyelesaian)
Proses dimana pertunjukan dramatis dari
permasalahan tokoh utama serta situasi kehiduapannya diambil secara utuh.
Rancangan sesi psikodrama seringkali dimulai dengan permasalahan masa sekarang,
kemudian berlanjut pada pengalaman tokoh utama di masa sebulumnya. Ketika drama
tersebut berlanjut, adegan dari masa lalu ditampilkan kembali ke masa
kanak-kanak. Pada tahap-tahap psikodrama, proses tersebut dilakukan secara
berulang, antara saat ini dnegan masa lalu. Tetapi dengan versi yang
disampaikan oleh pengalaman emosional dan kognitif dari psikodrama. Sebagai
contoh, seorang pria yang memulai psikodramanya dengan membahas secara terus
menerus dengan pekerjaannya. Kemungkinan pada proses pertunjukan mengalami
kesulitan dengan ayahnya. Pada bagian penutup atau penyelesaian dari
psikodrama, ia akan mengulang kembali adegan-adegan dengan pekerja tersebut,
untungnya mengelola kenyataan tersebut dengan cara yang berbeda melalui
pemahaman yang ditingkatkan dan pengalaman tentang hubungan yang tidak harmonis
dengan ayahnya (pada masa lalu) dan dengan pekerjaannya (pada masa sekarang).
Sedangkan psikodrama yang modern, teknik yang
digunakan banyak sekali, sehingga butuh ruang untuk menjelaskannya satu
persatu. Menurut Blatner (2000) teknik-teknik yang biasa digunakan dalam
psikodrama modern, diantaranya adalah warm-up, advice giving, amplification,
behind the back, breaking in, coaching, cutting the action, dance and movement,
de-roling, directed dialogue. Double, ego building, emty chair, future
projection, goodbye scenes, idealization, identity, jugment scene, letter,
magic shop, mirroring, monodrama, non-verbal techniques, personification,
photograph warm-up, puppets, remote control, replay, role presentation, shared
secrets, silent auxiliary, soliloquy, substitute role, symbolic distance,
telephone, touching, dan voluntary double. Sedangkan menurut Kipper dan Hundal
(2003) teknik psikodrama modern yang digunakan, antara lain role playing, empty
chair, mirroring, role reversal, double, jugjement, surplus reality, past
projection, fantasy play, auxiliary ego, future projection, alter ego, age
reggression, hot seat, letter writing, magic shop dan pillow.
c.
Aplikasi Psikodrama
Tujuan utama dari psikodrama adalah untuk
memberikan intervensi kepada individu agar dapat keluar dari masalah yang
dihadapinya. Intervensi itu sendiri merupakan campur tangan terapis atau
sutradara dalam membantu individu menemukan insight (pencerahan) sebagai jalan
keluar dari permasalahannya. Di samping itu, menurut Munir (2004) dengan metode
psikodrama, individu yang diterapi akan mampu mengembangkan pribadinya secara
lebih baik. Dimensi perkembangan pribadi yang dapat dicapai antara lain:
1) Self awarness, bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran diri yang ada kaitannya dengan klarifikasi perasaan,
tujuan, kekuatan, kelemahan, kebutuhan dan rasa takut.
2) Interpersonal skills, berkaitan dengan
peningkatan kapasitas kepercayaan, kemandirian, inisiatif, keterbukaan diri,
dan ketegasan sikap. Individu juga dapat meningkatkan kesadaran tentang
kelemahan orang lain, kebutuhan-kebutuhannya, ketakutannya, dan perbedaan
temperamen dari orang lain. Mampu melakukan interaksi sosial dan komunikasi,
dapat menyampaikan kapasitas dirinya secara jelas dan tepat. Serta mampu untuk
mendengarkan, dan berempati tanpa distorsi.
3) Value system, berkait dengan
pandangan hidup positif khususnya ttng makna kematian, hidup, spiritual dan
lebih rasional.
4) Spontanitas, agar mampu bermain
secara penuh, dapat berimprovisasi, berpartisipasi dalam, lagu, tari, drama dan
humor.
5) Sensory awakening, berkaitan dengan
gerak tubuh, irama, perasan, keseimbangan, penggunaan sentuhan &
sensualitas
6)
Imagination, berkaitan dengan
pengelolaan kemampuan menggunakan asosiasi, mimpi, simbol, gambar, petunjuk
fantasi, intuisi, dan mampu bercerita tentang kondisi dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar